Life Skills

Cara Meningkatkan Percaya Diri di Media Sosial: Tahan Kritik Tanpa Overthinking

Rahajeng Lintang Safitri
30 Jan 2025
12 read

Ngerasa gak sih? Komentar orang-orang di sosial media tuh kadang jahat banget. Semua orang udah kayak Juri Masterchef yang ‘pedes’ abis. Hal ini bikin kita ragu-ragu buat posting sesuatu.

Mau upload foto selfie? Takut dibilang alay. Mau share opini? Takut dihakimi habis-habisan.

Rasanya, apa pun yang kita lakukan selalu ada aja yang nggak setuju atau nyinyir.

Padahal, media sosial kan tempat buat kita bebas berekspresi, ya nggak? Tapi, komentar negatif kadang bikin kita mikir dua kali sebelum nge-post sesuatu.

Media sosial emang punya sisi baik dan buruk. Di satu sisi, kita bisa terhubung dengan teman, berbagi cerita, atau bahkan belajar hal baru. Tapi di sisi lain, komentar pedas atau kritik nggak membangun sering bikin kita overthinking dan gak pede.

Malah, menurut sebuah survei global dari McKinsey, perempuan Gen Z adalah kelompok yang paling sering merasa insecure karena tekanan sosial di media digital​.

Pernah ngalamin yang kayak gini? Jangan khawatir, kamu nggak sendirian. Artikel ini bakal bahas gimana caranya tetap percaya diri dan enjoy di media sosial tanpa harus kebawa arus negatifnya. Yuk, simak lebih lanjut!

Kenapa Kita Benci Kritik

Kita sering ngerasa sulit buat nerima kritik, bahkan ketika itu disampaikan dengan niat baik.

Tapi kenapa ya, kritik bisa begitu menyakitkan?

Ternyata ada hubungannya loh dengan bagaimana otak kita merespon ancaman dan bagaimana kita memandang diri sendiri.

Menurut penelitian dalam Journal of Personality and Social Psychology, otak manusia merespon kritik seperti merespon ancaman fisik. Ketika kita dikritik, bagian otak yang disebut amigdala—yang bertugas mengelola emosi dan rasa takut—langsung aktif.

Ketika kita dikritik, bagian otak ini—yang bertugas mengelola emosi dan rasa takut—langsung aktif. Ini membuat tubuh kita memproduksi hormon stres seperti kortisol.

Ini tuh sebenernya mekanisme self-defense ala nenek moyang kita, biar survive gitu. Tapi kalau konteks zaman sekarang, malah bikin kita gampang baper atau overreact.

Pada kenyataannya, kritik itu belum tentu bahaya. Tapi karena otak kita terlatih untuk merespons ancaman. Seringkali merasa tertekan atau baper ketika menerima komentar atau masukan negatif. Hal ini makin diperparah ketika kita menilai kritik sebagai serangan langsung terhadap diri kita.

Kritik bisa dianggap seperti serangan terhadap identitas, kemampuan, atau bahkan nilai diri kita. Dalam situasi seperti ini, otak kita seolah-olah melindungi diri dari rasa sakit emosional yang timbul akibat kritik tersebut. Kritik sering kali dianggap sebagai serangan terhadap identitas atau kemampuan kita.

Menurut penelitian yang diunggah di Psychology Today, orang dengan harga diri rendah cenderung lebih sulit menerima kritik karena mereka udah punya keraguan terhadap kemampuan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka yang punya harga diri tinggi lebih cenderung ngelihat kritik sebagai peluang untuk tumbuh dan belajar​

Lingkungan sosial dan budaya juga memengaruhi gimana cara kita merespon kritik. Di era media sosial, kritik sering datang dalam bentuk komentar negatif yang terbuka untuk dilihat banyak orang. Hal ini membuat kritik terasa lebih personal dan lebih sulit diabaikan.

Belum lagi kalau penyampaiannya tuh kadang nyolot atau nggak pake empati, jadi malah bikin sebel abis!

Studi dari Pew Research Center nunjukin kalau 41% orang dewasa muda merasa terganggu oleh komentar negatif di media sosial, yang dapat memengaruhi rasa percaya diri mereka.

Sosial Media: Sarang dari Komentar Jahat


Sosmed, yang tujuan awalnya buat connect sama orang-orang dan sharing cerita, sekarang malah sering jadi sarang komen-komen toxic. Nggak cuma ngerusak mood scrolling kita, tapi juga ngaruh banget ke mental health.

Kenapa Sosial Media Jadi Sarang Komentar Jahat?

Pertama, platform kayak Twitter dan TikTok memungkinkan orang berkomentar tanpa menggunakan identitas asli. Orang bisa komen pedes atau bahkan nyerang tanpa harus pake identitas asli mereka.

Penelitian dari Journal of Cyberpsychology bilang, kalau anonimitas di internet meningkatkan perilaku agresif karena kurangnya konsekuensi sosial langsung​. Jadinya, netizen tuh suka merasa bebas banget buat ngomong apa aja, tanpa takut di-judge langsung.

Terus ada fenomena budaya cancel sama call-out yang lagi hits banget. Banyak orang yang ngerasa punya hak buat 'ngehukum' orang lain yang dianggap salah atau nggak sesuai dengan standar mereka, dan itu sering banget terjadi di ruang publik.

Walaupun tujuannya bisa jadi buat menegakkan keadilan sosial, sayangnya sering banget budaya ini kebablasan. Alih-alih bikin orang sadar atau berubah. Malah jadi ajang julid massal yang nggak terkendali dan nyerang pribadi orang lain.

Nah, yang nggak kalah berpengaruh adalah algoritma di media sosial.

Jadi gini, algoritma tuh sebenernya ada buat nyebarin konten yang banyak disukai atau di-interaksiin orang. Sayangnya, konten yang sering bikin orang emosi kayak marah atau benci tuh cenderung lebih banyak dapat like, share, atau komen. Ini karena orang-orang lebih responsif sama hal-hal yang nge-trigger mereka.

Akibatnya, komen-komen toxic atau hate speech malah jadi lebih terlihat, sementara yang positif kadang ketimpa. Intinya algoritma malah mendorong kita buat nge-highlight konten yang lebih mengundang kontroversi daripada yang bisa bikin suasana jadi lebih sehat.

Antara Kritik Konstruktif dan Sekedar Nyinyir

Kritik emang nggak bisa dihindarin, apalagi di zaman digital kayak sekarang. Semua pendapat orang bisa langsung tersebar ke media sosial. Tapi, nggak semua kritik itu sama, lho.

Ada yang kritik konstruktif, yang tujuannya buat ngebantu kita berkembang dan jadi lebih baik. Tapi ada juga tuh yang cuma komentar nyinyir doang.Tujuannya buat ngejatuhin atau merendahkan orang lain tanpa alasan jelas.

Kritik konstruktif itu basically umpan balik yang dikasih dengan cara yang suportif. Biasanya ada solusi yang jelas buat perbaikan. Jadi, bukan cuma ngasih tahu apa yang salah, tapi juga bantu cari cara supaya bisa lebih baik ke depannya.

Tujuannya tuh buat ngebantu kita tumbuh dan berkembang, bukan malah bikin harga diri atau kepercayaan diri kita jatuh.

Misalnya gini, seorang bos ngasih feedback ke karyawan:

Presentasi kamu udah oke, tapi coba deh tambahin lebih banyak data di bagian sini. Itu bakal bikin audiens lebih yakin sama argumen kamu.

Nah, itu namanya kritik yang konstruktif. Bukan cuma nunjukin apa yang kurang, tapi juga ngasih solusi konkret buat perbaikinya. Jadi kita tau apa yang harus diperbaiki dan gimana cara ningkatinnya.

Sebaliknya, komentar nyinyir cenderung merendahkan atau menghina tanpa ada niat untuk membantu. Biasanya komentar bersifat subjektif dan gak ngasih solusi yang jelas.

Nah, penting buat kita tahu gimana cara bedain kritik yang baik sama yang ngeselin. Biar kedepannya kita bisa lebih pede dan gak overthinking.

Menghadapi Komentar Negatif: Jangan Biarkan Itu Merusak Hari Kita

Komentar negatif di medsos tuh bisa banget ganggu mood kita, bahkan bikin hari kita berantakan. Tapi, penting banget untuk inget, apa yang orang lain bilang di dunia maya nggak selalu mencerminkan siapa kita sebenarnya.

Yang penting adalah gimana cara kita ngadepin komentar kayak gitu dengan bijak. Jangan sampe komentar negatif ngerusak mental kita atau bikin kita kehilangan kepercayaan diri. Kita harus bisa nge-filter dan fokus sama apa yang positif aja.

Waktu ngadepin komentar negatif, hal pertama yang harus kita inget adalah itu cuma opini orang lain, bukan fakta tentang diri kita.

Kadang-kadang, komentar kayak gitu lebih banyak ngungkapin gimana perasaan atau perspektif orang yang ngasih kritik aja. Jadi, jangan terlalu dibawa masuk ke hati.

Misalkan, kita abis upload foto selfie di story IG. Terus ada yang komen “Muka jelek gitu aja bangga.” Nah! Jelek atau cantik itu penilaian subjektif. Mungkin di mata dia begitu Tapi kalau kita ngerasa muka kita oke, PEDE AJA BOSS!

Mengatur batasan itu penting banget buat jaga diri kita dari dampak negatif medsos. Kalau kita ngerasa tertekan sama komentar-komentar di platform tertentu, nggak ada salahnya buat filter atau bahkan matiin komentar di postingan kita.

Itu salah satu cara efektif buat ngejaga supaya nggak terlalu kebawa emosi atau stres gara-gara komentar orang lain.

Overthinking? Kenapa Itu Berbahaya di Sosial Media

Overthinking, atau mikir kebanyakan, itu masalah yang sering banget muncul pas kita main sosmed.

Saat kita terpapar berbagai komentar, postingan, dan informasi di platform kayak Instagram atau Twitter, kita sering terjebak di siklus mikirin hal-hal kecil berulang-ulang.

Padahal, meskipun kelihatannya sepele, overthinking di dunia maya bisa ngeganggu kesehatan mental kita, lho. Bisa bikin kita merasa lebih stres, cemas, bahkan kehilangan fokus.

Overthinking itu bisa ngebuat kita jadi cemas berlebih, lho.

Kenapa? Karena kita sering banget menganalisis reaksi orang lain terhadap apa yang kita post atau share, kayak ‘Mereka suka nggak ya?’ atau ‘Gimana kalau mereka salah paham?’ Nah, hal kayak gini bisa bikin kita lebih cemas dan ngerasa tertekan.

Media sosial juga bikin kita gampang banget ngebandingin diri sama orang lain. Mulai dari gaya hidup, penampilan, sampai pencapaian. Apalagi kalau kita terus-terusan mikirin gimana orang lain lihat kita atau gimana hidup kita dibandingin sama orang lain Kita bawaanya nethink terus.

Akhirnya, kita jadi ngerasa nggak cukup atau kurang, padahal tiap orang punya perjalanan hidupnya masing-masing.

Kenali Pikiranmu, Kurangi Overthinking-mu‌‌

Dampak paling nyata dari overthinking adalah pemborosan waktu dan energi. Kita bisa terjebak mikirin hal-hal kecil yang sebenarnya nggak penting, dan itu malah bikin kita terus-terusan cemas.

Akibatnya, perhatian kita teralihkan dari hal-hal yang lebih produktif. Akhirnya kualitas hidup kita jadi turun. Penelitian yang diterbitkan di Frontiers in Psychology juga nunjukin kalau overthinking bisa ngerusak fokus kita, jadi susah untuk konsen sama tugas-tugas penting. Ujung-ujungnya bisa ngaruh ke kinerja dan kesejahteraan kita secara keseluruhan.

Self-Worth ≠ Validasi dari Likes atau Komentar

Di medsos, banyak dari kita yang ngehubungin rasa percaya diri kita sama jumlah 'likes' atau komentar positif yang kita dapet. Setiap kali kita posting sesuatu, seringnya kita berharap dapat perhatian atau validasi dari orang lain.

Kalo kita terlalu bergantung sama validasi eksternal kayak gitu, itu malah bisa ngerusak rasa percaya diri kita. Self-worth kita seharusnya nggak ditentukan sama seberapa banyak pengakuan yang kita terima di medsos.

Karena yang penting adalah bagaimana kita melihat diri kita sendiri, bukan dari apa yang orang lain pikirkan.

Pernah gak, kalian abis posting foto di Instagram misalnya. Terus ngerasa “Wah, keren banget nih. Gue yakin bakal dapet 1.000 likes.” Eh, ternyata, setengahnya pun gaada, trus langsung mikir “Apa gua hapus aja ya postingan yang ini.”

Media sosial memang dirancang buat ngasih umpan balik cepat dan gampang. Tapi, kalo kita terlalu sering ngaitin kebahagiaan atau harga diri kita sama reaksi orang lain, itu bisa bikin kita ngerasa rendah diri pas perhatian yang kita harapkan nggak datang.

Seiring waktu, ini bisa ngebuat kita ngerasa 'kosong' atau nggak puas sama diri kita sendiri kalo nggak dapet reaksi yang kita inginkan.

Padahal, self-worth yang sehat itu harusnya datang dari dalam diri kita sendiri, bukan dari seberapa banyak orang yang nge-like atau komen.

Salah satu cara buat membangun harga diri yang sehat adalah dengan mengenali dan menghargai kualitas yang ada dalam diri kita. Tanpa bergantung sama penilaian orang lain.

Jadi, alih-alih cari validasi dari luar, lebih baik kita fokus ke pencapaian pribadi, kayak kemampuan atau usaha yang udah kita lakukan buat tumbuh sebagai individu. Ini langkah penting banget buat ningkatin harga diri kita dan ngebangun kepercayaan diri yang lebih stabil.

Solusi

Terus gimana cara kita supaya tetep percaya diri dan gak overthink ngadepin kritik netizen di sosial media?

Nah, buat ngebangun rasa percaya diri yang tahan kritik di medsos tanpa kejebak overthinking, ada beberapa langkah konstruktif yang bisa kita coba:

  1. Pandang kritik sebagai bahan evaluasi diri
    Meskipun kritik kadang-kadang bikin kita baper, sebenernya itu adalah bagian dari proses kita buat berkembang, lho. Coba deh, pelan-pelan mulai bedain niat di balik kritiknya dan perasaan yang kita rasain.

    Pikirin lagi, apakah kritik itu buat ngebantu kita jadi lebih baik atau cuma sekadar nyerang? Kalau ternyata kritiknya relevan dan punya nilai positif, kenapa nggak diambil sebagai bahan buat upgrade diri kita pelan-pelan? Semua itu balik lagi ke mindset kita, kan? Jadikan kritik sebagai peluang buat tumbuh, bukan beban.

  2. Fokus pada Tujuan dan Nilai Diri
    Setiap kali kamu merasa ragu untuk mengunggah sesuatu, tanyakan pada dirimu sendiri: Apakah ini sesuai dengan nilai dan tujuan hidupmu? Jika iya, jangan biarkan pendapat orang lain mempengaruhi keputusanmu.

    Teori Self-Determination dari Deci dan Ryan mengajarkan bahwa kita lebih merasa puas dan percaya diri ketika kita terlibat dalam kegiatan yang sesuai dengan nilai dan tujuan pribadi kita. Ketika kita fokus pada pencapaian pribadi, kita mendapatkan rasa kepuasan yang lebih dalam, yang tidak bergantung pada penilaian orang lain.

  3. Pahami Bahwa Kritikan di Sosial Media Tidak Selalu Mencerminkan Realitas
    Sosial media tuh sering banget nunjukin sisi hidup orang yang terkesan sempurna dan nggak realistis. Apa yang kelihatan tuh kadang berbanding terbalik sama realita. Misalnya, ada influencer yang hidupnya glamor abis. Padahal, mungkin sebenernya itu ditampilin buat “citra” mereka aja.

    Solusinya adalah kita harus paham kalau apa yang kita lihat di sosial media itu nggak menggambarkan keseluruhan hidup seseorang. Banyak orang cuma nunjukin bagian-bagian yang keliatan 'sempurna' aja. Jarang orang nge-share struggle atau kegagalan mereka.

    Jadi, kita harus belajar buat berhenti bandingin diri kita sama apa yang orang lain tunjukin di dunia maya. Setiap orang punya perjalanan hidupnya masing-masing, dan nggak ada yang hidupnya mulus terus.

    Kalau kita mulai fokus sama diri kita sendiri dan menghargai progres pribadi, kita bakal jauh lebih tenang dan percaya diri. Tanpa harus terjebak dalam perbandingan yang nggak sehat. Ingat, yang penting adalah proses kita, bukan apa yang kelihatan di luar sana.

  4. Ciptakan Batasan Digital
    Salah satu cara terbaik buat ngurangin stres dan overthinking adalah dengan menetapin batasan dalam penggunaan media sosial. Coba deh tentuin seberapa lama kita bakal ngabisin waktu di medsos setiap harinya, dan usahain buat nggak ngecek platform apapun sebelum tidur.

    Ini bakal ngebantu kita buat nggak terlalu terjebak dalam dunia maya yang bisa ganggu kesehatan mental. Cobalah untuk lebih mindful dalam menggunakan media sosial, biar nggak nguras energi dan fokus kita.

  5. Gunakan Fitur Pengaturan untuk Menjaga Positivisme
    Sebagian besar platform media sosial sekarang udah ngasih kita fitur kontrol penuh atas siapa yang bisa ngomentarin atau ngeliat postingan kita. Kita bisa banget manfaatin fitur kayak 'mute' atau 'block' buat ngehindarin komentar negatif atau yang bikin kita nggak nyaman.

    Dengan begini, kita bisa punya kontrol lebih besar atas pengalaman di medsos. Jadi kita bisa jaga suasana hati dan tetep fokus sama hal-hal positif yang bikin kita merasa baik. Intinya, kita punya hak untuk memilih apa yang kita terima dan nggak terima di dunia maya.

  6. Terapkan Mindfulness untuk Mengurangi Overthinking
    Mindfulness adalah teknik untuk fokus pada momen saat ini dengan penuh perhatian dan tanpa menghakimi. Ini berarti kita sadar dengan apa yang kita pikirkan, rasakan, atau lakukan, tanpa terganggu oleh masa lalu atau khawatir tentang masa depan.

    Cobalah buat lebih hadir dan sadar sama pikiran serta perasaan kita, tanpa langsung menilai atau ngebiarin mereka nguasain kita. Meditasi atau teknik pernapasan juga efektif banget buat menenangkan pikiran yang sering kali berlarian.

    Ini bisa bantu kita buat nggak terlalu mikirin apa yang orang lain pikirin tentang kita. Juga ngebantu lebih fokus sama apa yang kita rasain serta butuhin. Dengan mindfulness, kita bisa lebih tenang dan punya kontrol lebih besar atas diri sendiri, tanpa terjebak dalam kekhawatiran yang nggak perlu.

  7. Pahami Bahwa Tidak Semua Orang Akan Menyukai Kamu
    Emang sih, nggak ada yang bisa memuasin semua orang, dan itu hal yang normal banget. Setiap orang pasti punya pendapat dan selera masing-masing. Kalau kritik yang datang nggak membangun atau cuma nyerang doang, ya udah, abaikan aja.

    Kadang kita suka mikir, “Kenapa ya ada orang yang nggak suka sama gue?” Padahal, itu hal yang nggak bisa kita kontrol. Seseorang pasti punya alasan tersendiri buat ngasih komentar atau kritik.

    Mungkin mereka nggak setuju sama cara kita, atau mungkin mereka lagi bad mood dan nyalurin lewat komen. Faktanya, kita nggak bisa kontrol apa yang orang pikirin, dan nggak perlu juga terlalu dipikirin.

    Ada satu pemikiran yang bagus banget buat masalah ini. Namanya filosofi Stoikisme, yang dicetuskan filsuf Epictetus dan Seneca.

    Stoikisme mengajarkan bahwa ada dua hal yang perlu kita bedakan dalam hidup: hal-hal yang bisa kita kontrol, dan hal-hal yang tidak bisa kita kontrol.

    Kritik dari orang lain, atau bahkan ketidaksukaan mereka terhadap kita, adalah hal yang tidak bisa kita kontrol.

    Jika kita terlalu terfokus pada apa yang orang pikirkan atau katakan tentang kita, kita hanya akan membuang energi pada hal-hal yang tidak berada dalam kendali kita. Itu hanya akan menambah stres dan rasa cemas yang sebenarnya sia-sia.

    Sebaliknya, hal yang bisa kita kontrol adalah bagaimana kita melihat dan merespons kritik tersebut. Kritik atau penilaian orang lain tidak akan memiliki dampak negatif jika kita memilih untuk tidak terpengaruh oleh mereka.

    Alih-alih terjebak dalam perasaan tidak dihargai atau ingin memuaskan semua orang. Kita bisa tetap tenang dan fokus pada nilai-nilai kita sendiri.

    Jadi fokus ke apa yang menurut kita bener dan terus jalanin. Intinya, kita nggak bisa kontrol apa yang orang pikirin, jadi kenapa harus terlalu dipikirin?

  8. Bangun Komunitas yang Mendukung
    Lingkungan sosial yang supportif itu penting banget buat jaga rasa percaya diri. Teman-teman yang positif dan selalu ada buat ngedukung bisa jadi tempat kita curhat, dan mereka juga bisa ngebantu ngingetin buat nggak terlalu mikirin komentar negatif dari orang asing.

    Dukungan sosial tuh punya peran besar dalam ningkatin kesehatan mental dan ngurangin stres. Jadi, pastiin kita dikelilingi orang-orang yang bener-bener peduli dan kasih energi positif buat kita!

  9. Terima Diri Sendiri dengan Semua Kekurangan
    Ingat, nggak ada orang yang sempurna. Jadi, jangan terlalu keras sama diri sendiri dan belajarlah buat menerima kekurangan kita. Ini nggak cuma soal penampilan fisik, tapi juga tentang gimana kita nanggepin kritik dan bagaimana kita berkembang sebagai individu.

    Semakin kita bisa nerima diri sendiri apa adanya, semakin kecil kemungkinan kita buat terpengaruh sama komentar negatif. Fokus sama perjalanan diri kita, bukan apa yang orang lain pikirin!

  10. Berlatih Berpikir Positif dan Bersyukur
    Setiap kali kamu merasa tertekan oleh komentar negatif, cobalah untuk melatih diri untuk melihat sisi positif dari situasi tersebut. Ini bisa berupa menghargai keberanianmu untuk berbagi atau merasa bangga atas pencapaian kecil.

    Berlatih bersyukur juga membantu meningkatkan rasa percaya diri, karena kita akan lebih fokus pada hal-hal yang telah kamu capai daripada apa yang belum tercapai.

Dengan langkah-langkah ini, kita bisa mulai ngurangin ketergantungan sama pendapat orang lain. Lebih enjoy aja di sosial media tanpa kebanyakan overthinking. Percaya diri yang tahan kritik itu sebenernya bisa dibangun lewat lebih banyak kesadaran diri dan kontrol, plus tentunya ngejaga kesehatan mental kita.

Semakin kita ngerti diri sendiri, semakin kita bisa ngehadapin kritik dengan santai dan nggak kepengaruh sama omongan yang nggak penting. Jadi, yuk mulai fokus sama diri kita sendiri, jalanin apa yang bikin kita bahagia, dan jadi versi terbaik kita!