GenZ disebut sebagai generasi yang paling kesepian. Padahal banyak yang bilang mereka orang yang paling aware sama Mental Health. Ironisnya, kesadaran ini yang justru bikin mereka makin terisolasi.
Terlalu fokus pada kesehatan mental dan standar healthy relationship bikin GenZ ngehindarin lingkungan atau orang yang dianggap toxic.
Alhasil, banyak yang akhirnya memilih menyendiri daripada ngurusin drama atau konflik.
Bayangin, menurut penelitian yang diunggah Psychology Today 73% Gen Z ngerasa terisolasi atau kesepian. Faktornya banyak, mulai dari digitalisasi yang mengurangi interaksi tatap muka, tekanan sosial, hingga ekspektasi tinggi terhadap hubungan yang ideal.
GenZ cenderung menginginkan hubungan yang sehat dan bebas dari toksisitas, atau istilah populernya “green flag”
Meski sadar pentingnya menjaga kesehatan mental, mereka sering kejebak antara menjaga diri dan membangun koneksi sosial yang nyata.
Generasi Z paling update soal teknologi, mental health, dan self-care. Tapi, kenapa justru mereka sering merasa paling kesepian dibanding generasi lainnya? Kok bisa, ya?
Ketika Dunia Maya Mengalahkan Kehidupan Nyata

Sekarang ini, hidup kita udah penuh banget sama distraksi digital. Mulai dari scroll media sosial, binge-watching serial, sampai kerjaan yang nggak ada habisnya.
Karena sibuk ngurusin semua itu, waktu buat ngobrol langsung sama orang jadi makin berkurang.
Akhirnya, banyak Gen Z yang ngerasa kesepian dan mentalnya kena imbas. Faktanya, menurut survei Goodstats sekitar 59,1% Gen Z ngaku punya masalah kesehatan mental, lebih tinggi dari Milenial (39,8%) dan Gen X (24,1%).
Media sosial jadi sumber masalah yang bikin beban makin berat. Isinya penuh sama standar hidup yang nggak realistis, bikin banyak orang jadi suka bandingin diri mereka sendiri. Ujung-ujungnya, stres dan minder deh.
Media sosial tuh kayak pisau bermata dua. Di satu sisi, bikin kita gampang connect sama siapa aja, tapi di sisi lain, bikin kita terjebak dalam comparison trap.
Lihat orang liburan mewah atau pamer prestasi, terus langsung ngerasa hidup kita kok biasa aja ya? Ini bikin insecure dan makin merasa sendirian. Kita terus-terusan ngebandingin hidup sama orang lain.
Apalagi waktu pandemi, semuanya makin parah. Banyak anak muda yang harusnya lagi explore dunia malah terkurung di rumah. Ini bikin mereka ngerasa terisolasi dan makin cemas.
Ditambah lagi, kebiasaan scroll tanpa henti bikin mental capek banget. Padahal, itu malah bikin kita makin jauh dari interaksi sosial yang beneran sehat.
Akibatnya, tingkat kecemasan dan depresi naik. Hubungan sama temen dan keluarga juga jadi kurang dalem karena kebanyakan habisin waktu di dunia maya.
Jadi, penting banget buat cari keseimbangan antara dunia digital sama dunia nyata biar hidup nggak makin chaos.
Makin Mandiri, Makin Kesepian: Efek Samping Era Digital
Di era digital, kemandirian orang-orang, khususnya Gen Z, meningkat drastis. Sekarang, hampir semua hal bisa dipelajari sendiri lewat internet—dari masak, benerin barang rusak, sampai belajar investasi.
Nggak perlu tanya orang lain atau minta bantuan langsung karena semua info udah tersedia di ujung jari. Tinggal cari tutorial di YouTube atau baca artikel di Google, masalah beres.
Tapi, makin mandiri ini ternyata punya sisi gelap. Kebiasaan bergantung pada teknologi untuk cari solusi bikin orang perlahan-lahan lupa gimana caranya minta bantuan ke sesama. Akibatnya, interaksi sosial jadi berkurang.
Orang lebih milih “nyelesain sendiri” ketimbang berbagi masalah dengan teman atau keluarga.
Ketergantungan pada teknologi bikin kita merasa lebih terisolasi secara sosial, karena solusi digital nggak ngasih kesempatan buat interaksi manusia yang lebih personal
Jadi, meskipun kemandirian ini bikin hidup lebih praktis, kita tetap butuh keseimbangan. Interaksi sosial nggak bisa diganti sepenuhnya sama teknologi.
Minta bantuan orang lain itu nggak cuma soal solusi, tapi juga soal membangun koneksi yang bikin hidup lebih bermakna.
Self-Care Berlebihan: Antara Healing dan Menghindari Dunia Nyata
Sekarang, self-care udah jadi topik yang hits banget di kalangan GenZ. Mulai dari skincare routine yang panjang, meditasi tiap pagi, sampai me-time seharian penuh.
Nggak ada yang salah sih dengan itu semua. Malah bagus kalau bisa menjaga kesehatan mental dan fisik.
Tapi, pernah nggak sih kamu merasa, kadang self-care bisa jadi pelarian dari kenyataan yang lagi nggak enak?
Salah satu masalahnya, kita jadi kebanyakan fokus sama diri sendiri, sampai lupa untuk engage dengan dunia luar.
Tahu kan, kita sering banget denger istilah "healing"? Banyak yang pake self-care sebagai alasan buat healing dari stres. Tapi kalau berlebihan, bisa jadi malah makin kesepian.
Kadang kita terlalu banyak ngerasa "oh, gue butuh waktu buat diri sendiri" dan itu bikin kita jadi terisolasi.
Menurut Psychology Today, meskipun praktik self-care seperti mindfulness bisa bantu meningkatkan kesejahteraan mental. Tapi kalau kebanyakan malah bisa jadi cara buat menghindari kenyataan.
Jadi, kalau udah kebanyakan, bukannya makin baik, malah bisa makin jauh dari realitas yang seharusnya dihadapi
Healing yang sehat itu nggak cuma soal menghindari dunia luar, loh. Healing itu sebenarnya juga tentang menghadapi masalah dan menerima kenyataan, bukan cuma mencari pelarian terus-terusan.
Self-care yang berlebihan malah bisa bikin kita lari dari masalah yang seharusnya bisa kita selesaikan. Jadi, penting buat balance, ya—jangan sampe healing-nya malah bikin kita lebih jauh dari realitas.
Mengejar Green Flag, Tapi Lupa Realitas Dunia itu Red Flag

Kita sering banget denger istilah “green flag” buat menggambarkan hal-hal positif yang kita kejar dalam hidup, entah itu dalam hubungan, pekerjaan, atau bahkan gaya hidup.
Tapi ternyata, terlalu fokus nyari "green flag" ini bisa bikin kita lupa sama realitas dunia yang justru lebih banyak "red flag"-nya. Dunia ini gak selalu ideal, apalagi kalau kita cuma ngandelin standar-standar sempurna yang kita temuin di media sosial atau pengaruh-pengaruh lain.
Banyak orang sekarang ini terlalu terpaku sama hal-hal positif dan pengen punya segalanya. Padahal kenyataannya, hidup penuh tantangan yang nggak bisa dihindari.
Coba deh kita mulai menerima kenyataan, gak semua harus sempurna. Belajar menghadapi “red flag” itu penting karena kadang kita bisa belajar banyak dari situ. Entah itu dalam hubungan, pekerjaan, atau hal-hal lain yang nggak berjalan sesuai rencana.
Jadi, daripada terus-menerus mengejar yang ideal, mungkin lebih baik kita coba untuk lebih realistis dan fokus ke apa yang bisa kita perbaiki dan hadapi.
Menerima “red flag” bukan berarti menyerah, tapi justru bisa membuka peluang buat berkembang dan jadi lebih kuat dalam menghadapi dunia yang nggak selalu ramah.
Mental Health Advocacy yang Berujung Isolasi Sosial
Pernah gak sih kamu ngerasa, meskipun lagi peduli banget sama kesehatan mental, tapi malah merasa makin kesepian?
Ya, itu bisa banget terjadi, terutama kalau kita terlalu fokus pada self-care dan proses penyembuhan diri yang berlebihan.
Memang sih, penting banget buat menjaga kesehatan mental. Tapi kalo terlalu menutup diri dan cuma fokus ke diri sendiri, kita malah bisa terjebak dalam isolasi sosial yang nggak disadari.
Misalnya, kita terlalu asyik dengan meditasi, me-time, atau mindfulness, sampai kita jadi lupa buat ngejalanin interaksi sosial yang sehat. Padahal, manusia itu pada dasarnya makhluk sosial yang butuh connect dengan orang lain.
Dengan terlalu sering berada di ruang privat dan menghindari dunia luar, kita malah bisa merasa semakin terisolasi. Itu yang disebut dengan fenomena di mana healing atau perawatan diri bisa jadi alat pelarian dari kenyataan dan masalah sosial.
Laporan dari Psychology Today juga menyebutkan bahwa meskipun media sosial bisa meningkatkan rasa terhubung bagi mereka yang sudah memiliki hubungan sosial yang kuat, ia bisa jadi kontraproduktif jika hanya dijadikan pengganti interaksi tatap muka.
Jadi, meskipun penting buat kita menjaga kesehatan mental, jangan sampai kita terlalu terjebak dalam self-care yang berlebihan sampai akhirnya malah mengisolasi diri. Balance itu kunci!
Cobalah untuk tetap menjaga hubungan sosial, ngopi bareng teman, atau ikut kegiatan komunitas yang bisa memberikan rasa kebersamaan. Jangan sampai kita hanya terhubung dengan layar aja.
Karena dunia nyata butuh koneksi yang lebih bermakna dan nggak kalah pentingnya buat kesehatan mental kita.
Ketika Fokus pada Self-Love Membuat GenZ Sulit Percaya Orang Lain
Gen Z sering banget merasa sulit buat percaya sama orang lain karena mereka udah terbiasa ngeliat orang sekitar sebagai ancaman. Banyak yang merasa kalau membuka diri atau membangun hubungan itu bakal bikin mereka kecewa atau malah disakiti.
Dunia digital yang mereka hidupin juga nggak banyak bantuin soal ini. Dengan seringnya ketemu orang-orang yang kelihatan hidupnya sempurna di media sosial, rasa percaya diri bisa jatuh banget.
Apalagi kalau mereka ngerasa nggak sebaik atau semenarik orang-orang yang mereka lihat.
Menurut beberapa studi, generasi ini lebih sensitif terhadap perasaan "tidak cukup baik" yang datang dari interaksi sosial, baik itu di dunia nyata atau maya.
Rasa takut akan penolakan atau disalahpahami bikin mereka ngehindarin untuk menjalin hubungan yang lebih dalam dan tulus.
Banyak yang tumbuh dengan pengalaman buruk, kayak perundungan atau merasa terabaikan, yang akhirnya bikin mereka waspada. Ada ketakutan kalau orang lain cuma bakal nyakitin atau nggak beneran peduli.
Apalagi dengan banyaknya ekspektasi sosial yang datang dari teman-teman atau bahkan keluarga, makin bikin mereka berpikir,
“Ngapain juga buka diri, kalau ujung-ujungnya bakal sakit?”
Tapi, nggak semua orang itu jahat kok. Mungkin aja kita cuma butuh waktu buat nyari lingkaran yang lebih suportif dan jujur.
Perlahan, kita bisa mulai bangun kepercayaan yang lebih sehat, dan nggak harus takut banget sama pengkhianatan. Gak semua orang bakal menyakiti kita.
Poinnya sih, jangan langsung nge-judge semua orang berdasarkan pengalaman buruk. Tapi coba kasih ruang buat hubungan yang lebih positif dan tulus.
Kesepian sebagai Konsekuensi dari Standar Sosial yang Tinggi

Standar sosial yang tinggi sering kali menjadi salah satu penyebab utama kesepian di kalangan Gen Z.
Di dunia yang penuh dengan media sosial, mereka dihadapkan pada ekspektasi besar terkait penampilan, pencapaian, hingga hubungan sosial.
Gambar hidup sempurna yang sering kali ditampilkan di platform seperti Instagram dan TikTok memicu perasaan bahwa mereka harus selalu tampil bahagia, sukses, dan populer, meskipun kenyataannya banyak yang merasa tertekan dan cemas.
Standar sosial yang tinggi sering kali membuat Gen Z terfokus pada hal-hal yang superfisial. Kayak penampilan fisik, gaya hidup mewah, dan pencapaian yang terlihat di media sosial.
Dunia dipenuhi dengan foto-foto sempurna dan pencapaian yang dipamerkan. Ini bikin banyak dari mereka yang merasa tertekan untuk selalu tampil sesuai dengan gambaran tersebut.
Misalnya, banyak yang merasa harus memiliki tubuh yang ideal, foto liburan yang Instagrammable, atau gaya hidup yang tampak glamor, meskipun kenyataannya mereka mungkin merasa kosong di dalam.
Penekanan pada penampilan luar ini bisa mengarah pada hilangnya makna dalam hubungan dan interaksi sosial yang lebih mendalam.
Karena terlalu fokus pada pencitraan, banyak yang merasa kesulitan untuk membangun koneksi yang tulus.
Mereka lebih banyak berinteraksi secara digital, di mana segala sesuatu dapat disaring dan ditampilkan sesuai keinginan, daripada terhubung dengan orang lain secara langsung dengan empati dan kejujuran.
Ini memperburuk perasaan kesepian, meskipun secara virtual mereka memiliki banyak "teman" atau pengikut.
Solusi

Kesepian tuh emang gak enak. Kadang kita dikelilingi banyak orang, tapi tetap aja merasa sendiri.
Nah, gue nemu tips keren dari Simon Sinek, penulis buku Start with Why, yang bisa bantu kita keluar dari rasa kesepian. Intinya, kita harus mulai dari pertanyaan sederhana: Kenapa sih kita merasa kesepian? Jawabannya bisa jadi clue buat langkah selanjutnya.
Nih, gue rangkum beberapa cara simpel yang bisa lo coba:
Cari Tujuan Hidup yang Ngena Banget
Punya tujuan hidup itu kayak punya kompas di tengah hutan. Kalau lo tahu "kenapa" lo ngelakuin sesuatu, hidup jadi lebih jelas arah jalannya. Jadi, coba deh pikirin apa yang bikin lo semangat bangun pagi.
Apa itu karier yang lo impikan? Passion yang bikin lo lupa waktu? Atau mungkin misi sosial yang bikin lo merasa berguna?
Nggak usah buru-buru, nggak masalah kalau lo butuh waktu buat nemuin jawabannya. Yang penting, jangan cuma ikut-ikutan tren. Lo perlu tahu apa yang beneran lo peduliin.
Kalau udah ketemu, lo bakal ngerasa lebih terhubung, baik sama diri sendiri maupun orang lain. Hidup juga bakal terasa lebih meaningful karena lo tahu apa yang lo perjuangkan.
Bangun Hubungan yang Tulus, Bukan Sekadar Banyak Koneksi
Di era media sosial, kita seringkali terjebak sama angka: jumlah teman, follower, like, dan sebagainya. Padahal, yang bikin kita ngerasa terhubung bukan jumlah, tapi kualitas hubungan.
Coba deh bangun koneksi yang lebih dalam dengan orang-orang terdekat.
Luangin waktu buat ngobrol tanpa gangguan gadget. Bisa 30 menit sehari aja, duduk bareng keluarga atau teman, ngobrol santai tentang hal-hal personal.
Jangan cuma bahas gosip atau tren terbaru! Obrolan yang mendalam bisa bikin kita ngerasa lebih dekat dan dihargai.
Kalau lo udah mulai bosan sama social media detox, coba cari komunitas yang sesuai sama minat lo. Bisa komunitas baca buku, grup olahraga, atau apapun yang bikin lo nyaman. Punya lingkaran kecil tapi solid itu jauh lebih berharga daripada ribuan koneksi yang cuma di permukaan.
Gabung atau Bentuk Komunitas yang Supportif
Kesepian kadang muncul karena kita merasa nggak punya tempat buat berbagi. Nah, solusinya adalah bergabung atau membentuk komunitas yang bisa saling mendukung.
Nggak perlu komunitas besar, yang penting anggotanya saling peduli dan bisa bikin lo merasa diterima.
Misalnya, lo bisa ikut kegiatan sukarela, gabung di klub hobi, atau cari grup yang punya passion yang sama. Hal ini bukan cuma ngisi waktu luang, tapi juga bikin lo merasa dihargai dan berarti.
Lo juga jadi punya kesempatan buat belajar dan berkembang bareng orang-orang yang punya energi positif.
Komunitas yang sehat itu kayak rumah kedua. Lo bisa jadi diri sendiri tanpa takut di-judge. Dan yang paling penting, lo nggak akan ngerasa sendirian lagi.
Jadi Pemimpin yang Peduli
Banyak orang mikir jadi pemimpin itu soal jabatan atau kekuasaan. Padahal, menurut Simon Sinek, setiap orang bisa jadi pemimpin, bahkan dalam hal-hal kecil.
Jadi pemimpin itu lebih ke soal gimana lo bisa membawa dampak positif di lingkungan sekitar.
Mulailah dengan hal-hal sederhana: dengerin teman yang lagi curhat, tawarin bantuan kecil, atau sekadar jadi pendengar yang baik. Kepedulian lo bisa bikin orang lain merasa dihargai, dan di sisi lain, lo juga bakal ngerasa lebih terhubung.
Coba bayangin, gimana rasanya bisa bikin perubahan kecil tapi berarti buat orang lain? Pasti rasanya satisfying banget, kan?
Lo bakal merasa dibutuhkan, dan itu otomatis bisa ngurangin rasa kesepian yang lo rasain. Plus, membantu orang lain juga bikin lo merasa punya tujuan yang lebih besar dalam hidup.
Kesepian itu bukan sesuatu yang harus lo jalanin sendirian. Dengan menemukan tujuan hidup, membangun hubungan tulus, bergabung dalam komunitas supportif, dan jadi pemimpin yang peduli, lo bisa mengatasi perasaan itu pelan-pelan.
Ingat, lo nggak sendiri. Selalu ada cara buat merasa lebih terhubung dengan dunia sekitar. Just keep trying!