Di era digital sekarang, kita sering banget lihat public figures seperti seleb, politisi, atau influencer yang tingkah lakunya ngawur. Entah itu pernyataan mereka yang sensasional atau bahkan skandal yang melibatkan hukum.
Anehnya, alih-alih tenggelam, mereka justru makin terkenal. Bahkan, nama mereka sering lebih akrab di telinga kita dibandingkan tokoh-tokoh yang berprestasi dan penuh integritas.
Skenario ini bikin banyak orang bingung dan bertanya-tanya:
Apa yang salah? Kok bisa mereka yang sering dianggap bodoh, tidak etis, atau bahkan jahat malah lebih sukses dan terkenal?
Apakah ini murni hasil dari strategi pintar mereka, atau sebenarnya ada celah dalam sistem sosial kita yang justru mendukung fenomena ini?
Kalau kita lihat lebih dekat, drama atau skandal yang awalnya dianggap aib sering kali menjadi perhatian besar. Publik yang penasaran justru membantu nama mereka makin sering disebut-sebut, baik dalam perdebatan online maupun offline.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah kesuksesan dan ketenaran sekarang hanya soal perhatian? Gak peduli gimana “moral” dari orang tersebut.
Fenomena ini emang menarik banget, karena mungkin jawaban atas pertanyaan ini lebih kompleks daripada sekadar kesalahan individu atau sistem. Yuk kita bahas!
Kapitalisme: Saat Outcome Jadi Segalanya

Kapitalisme memang sangat menekankan pada hasil (outcome). Dalam sistem ini, kesuksesan diukur dengan keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa terlalu mikirin gimana cara buat dapetinnya.
Makanya, gak jarang kita lihat orang atau perusahaan yang sukses meskipun nggak selalu main bersih atau jujur. Ya, karena sistem ini gak ngurusin tuh yang namanya “norma” yang mungkin berlalu di masyarakat.
Sistem ini lebih memprioritaskan efisiensi dan produktivitas daripada nilai-nilai moral atau sosial.
Contohnya nih, perusahaan teknologi yang terus menghasilkan keuntungan besar meskipun ada isu pelanggaran privasi data pengguna atau bisnis fast fashion yang sukses besar tapi menyisakan jejak pelanggaran hak pekerja di pabrik mereka.
Norma yang harusnya jadi batasan sering kali “fleksibel” dalam sistem ini. Bahkan, tindakan yang secara tradisional dianggap melanggar norma, seperti manipulasi atau eksploitasi, kadang-kadang diromantisasi sebagai "strategi bisnis" atau "taktik pemasaran kreatif".
Hal ini memperkuat struktur kapitalisme yang berfokus pada hasil, tanpa peduli proses di balik layar.
Kapitalisme juga ngasih keuntungan tanpa peduli sama dampaknya. Contohnya adalah perusahaan multinasional yang terus menghasilkan keuntungan besar meskipun sering terlibat pelanggaran hak asasi manusia atau pencemaran lingkungan.
Sebuah laporan dari Oxfam menunjukkan bahwa 1% orang terkaya dunia menghasilkan dua kali lipat emisi karbon dibandingkan separuh populasi termiskin dunia.
Laporan ini nge-highlight kalau gaya hidup mewah sama investasi di industri yang bikin polusi berat, kayak bahan bakar fosil, jadi salah satu penyebab utama emisi karbon dari kelompok super kaya.
Ini adalah bukti bahwa sistem kapitalisme cenderung mengabaikan tanggung jawab sosial demi keuntungan maksimal.
Sistem ini ngedorong kompetisi yang ketat, di mana mereka yang bisa menarik perhatian atau meraih keuntungan lebih besar sering kali dianggap sebagai pemenang. Walaupun cara yang ditempuh bisa aja kontroversial atau bahkan gak etis.
Akibatnya, banyak pihak yang memanfaatkan celah ini untuk meraih kesuksesan instan, meskipun kadang mengorbankan prinsip moral atau kepentingan orang lain.
Distribusi IQ dan Kesenjangan Pemahaman

Fenomena suksesnya orang yang dianggap "bodoh" atau "jahat" sering kali bisa dijelasin lewat distribusi IQ sama cara mereka nyampein pesan ke publik.
Kalau dilihat, mayoritas orang punya IQ di tingkat rata-rata. Menurut penelitian Verywell, sekitar 68% orang memiliki skor IQ antara 85 hingga 115, yang berarti mereka dianggap memiliki kecerdasan rata-rata. Ini berarti banyak orang lebih nyaman dengan informasi yang sederhana dan mudah dipahami karena sesuai dengan kapasitas pemrosesan umum mereka.
Secara alami, otak manusia memang lebih cenderung menyukai hal-hal yang ringan atau menghibur. Penelitian neurologis menunjukkan bahwa otak kita dirancang untuk mencari kepuasan instan dan menghindari hal-hal yang memerlukan energi kognitif besar.
Ketika mengonsumsi hiburan atau informasi sederhana, sistem dopamin di otak merespons lebih cepat. Hal ini ngasih rasa puas dan nyaman yang instan.
Inilah mengapa konten yang ringan, seperti video lucu atau cerita yang mudah dicerna, sering lebih menarik perhatian daripada konten edukatif yang membutuhkan pemikiran mendalam.
Selain itu, dalam dunia modern yang penuh tekanan, hiburan jadi pelarian yang disukai banyak orang. Orang bakal milih konten ringan ketika ngerasa stres atau lelah.
Hal ini terjadi karena otak cenderung mencari aktivitas yang memberikan relaksasi, bukan beban tambahan. Faktor ini memperkuat popularitas pendekatan sederhana yang menyentuh aspek emosional audiens.
Bayangin abis kuliah atau kerja yang butuh mikir banget. Kemungkinan besar kita bakal milih scroll Tiktok daripada belajar materi kuliah.
Dengan kata lain, preferensi audiens terhadap konten sederhana bukan hanya soal kapasitas intelektual, tetapi juga tentang bagaimana otak kita secara alami bekerja untuk mencari kenyamanan dan kepuasan instan.
Hal ini menjelaskan kenapa strategi komunikasi yang ringan dan emosional sering kali lebih efektif dalam menjangkau khalayak luas.
Penelitian dari Cambridge University (2018) juga nunjukin kalau politisi populis yang pake bahasa simpel lebih sukses dibanding yang ngomong dengan retorika ribet.
Ini nunjukin kalau daya tarik publik bukan soal kedalaman ide, tapi gimana pesan itu bisa relatable sama orang banyak. Ya, meski solusinya belum tentu realistis, tapi tetep aja gampang diterima.
Hal yang sama keliatan banget di dunia hiburan. Konten simpel kayak video lucu, drama ringan, atau cerita viral yang gampang dicerna, cenderung lebih populer daripada konten edukasi yang dalem.
Data dari Statista (2021) bilang kalau video pendek bertema ringan punya peluang viral 4 kali lipat lebih gede dibanding konten informatif. Ini nunjukin kalau masyarakat emang lebih suka hiburan yang santai dan nggak bikin mikir berat.
Jadi, kesuksesan orang yang dianggap "bodoh" atau "jahat" bukan karena mereka super kompeten, tapi karena mereka jago nyederhanain pesan, mainin emosi, dan manfaatin media yang pas buat nyebarin konten.
Strategi ini cocok banget buat masyarakat yang lebih nyari sesuatu yang gampang dipahami, relatable, dan menghibur.
Psikologi Sosial: Hiburan, Simplicity, dan Daya Tarik Emosional

Kenapa figur publik yang kontroversial, bodoh, atau bahkan dianggap jahat sering lebih sukses dan terkenal?
Jawabannya bisa dilacak melalui psikologi sosial dan teori kognitif. Otak manusia secara alami milih jalur yang lebih mudah buat memproses informasi.
Cognitive Load Theory ngejelasin kalau manusia cenderung menghindari informasi kompleks jika ada alternatif yang sederhana dan tetap menghibur. Dalam konteks ini, konten yang ringan dan emosional menjadi favorit.
Teori ini ngejelasin gimana otak kita memproses informasi, dengan membagi beban kognitif menjadi tiga jenis:
Intrinsic Load – Beban yang terkait langsung dengan kesulitan tugas itu sendiri. Misalnya, pelajaran matematika tingkat lanjut biasanya lebih menantang dan membutuhkan lebih banyak pemrosesan daripada membaca teks yang sederhana.
Extraneous Load – Beban yang timbul dari cara penyajian informasi. Jika informasi disampaikan dengan cara yang membingungkan atau terlalu rumit, ini akan menambah beban ekstra yang tidak perlu, mengurangi efektivitas pembelajaran.
Germane Load – Beban yang berhubungan dengan upaya kita untuk memahami dan mengasimilasi informasi, yang pada akhirnya membantu proses pembelajaran yang lebih dalam.
CLT bilang untuk memaksimalkan pemahaman atau pembelajaran informasi harus disajikan sedemikian rupa. Dengan cara mengurangi beban yang tidak perlu (extraneous load) dan mendukung upaya untuk memahami (germane load).
Simplicity and Emotional Content Dalam konteks media dan hiburan, CLT juga menjelaskan mengapa kita cenderung lebih tertarik pada konten yang sederhana dan emosional. Ketika informasi terlalu rumit atau membutuhkan pemrosesan yang lebih mendalam. Audiens lebih memilih alternatif yang lebih ringan dan menghibur.
Itulah sebabnya konten berbasis emosi—seperti video viral, meme, atau cerita yang mudah dicerna—sering kali lebih menarik perhatian dan lebih banyak dibagikan daripada konten yang lebih serius atau edukatif.
Setuju gak? Coba pikir, lebih asik mana: Nonton drakor atau nonton video tentang fisika kuantum?
Di era digital, algoritma media sosial makin memperkuat fenomena ini. Konten yang memicu reaksi emosional, baik berupa tawa, kemarahan, maupun rasa heran, lebih cenderung mendapatkan perhatian dan interaksi.
Figur publik dengan perilaku kontroversial, lebih narik audiens dibandingkan mereka yang deliver ide-ide kompleks dengan cara serius.
Contohnya nih, penelitian MIT pada 2018 nemui kalau berita palsu atau kontroversial menyebar 70% lebih cepat daripada berita fakta. Hal ini disebabkan oleh sifat berita palsu yang sering kali lebih mengejutkan dan emosional, sehingga audiens merasa terdorong untuk menyebarkannya lebih luas.
Begitu pula dengan figur publik yang menampilkan perilaku kontroversial. Aksi-aksi mereka sering memicu perdebatan panas yang berujung pada lebih banyak atensi.
Sederhananya, orang “bodoh” atau “jahat” berhasil menarik perhatian dengan memberikan apa yang diinginkan mayoritas. Hiburan tanpa beban dan konflik emosional yang memancing rasa penasaran.
Peran Media dan Algoritma

Media sosial telah menjadi alat utama dalam membentuk persepsi publik. Algoritma di platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter dirancang untuk memaksimalkan waktu pengguna di platform. Untuk itu, konten yang memancing emosi, terutama kemarahan atau keterkejutan, sering kali diprioritaskan.
Gimana sih sebenarnya algoritma bekerja?
Algoritma media sosial itu sebenarnya dirancang buat bikin kita betah lama-lama di platform. Intinya, mereka pakai data dari semua interaksi kita buat milih konten yang muncul di feed. Begini nih prosesnya:
- Ngumpulin Data
Algoritma bakal ngamatin semua gerak-gerik kita, kayak klik, waktu nonton video, reaksi (like, love, marah), sampai komentar. Data ini digunain buat memahami preferensi individu secara spesifik. - Milih dan Ngerank Konten
Setiap konten dapet skor berdasarkan seberapa besar peluangnya buat bikin kita ngasih perhatian. Kalau konten itu kayaknya bakal bikin kita nge-like, share, atau komentar, langsung deh diprioritasin buat tampil di feed lebih banyak orang. - Efek Emosi = Konten Viral
Konten yang nyentuh emosi—baik bikin kita ketawa, sedih, marah, atau heran—dapet nilai lebih tinggi. Kenapa? Karena sifatnya ngejutin dan bikin orang pengen nge-share. - Feedback Loop yang Bikin Konten Naik Daun
Kalau suatu konten udah mulai viral, algoritma bakal gas pol buat nampilin konten itu lebih luas lagi, apalagi ke orang-orang yang punya minat sama. Jadinya, konten kontroversial atau sensasional makin sering nongol di mana-mana.
Akhirnya, algoritma ini bikin lingkaran di mana konten yang bikin rame bakal terus naik, sementara yang tenang-tenang aja tenggelam. Itulah kenapa media sosial kita penuh drama dan kontroversi—karena, sadar atau nggak, itu yang bikin kita tetep scroll terus.
Media sosial sekarang udah jadi tempat di mana kontroversi itu jadi komoditas yang bernilai tinggi. Berkat algoritma yang terus memperkuat siklus sensasi. Orang atau organisasi yang berani tampil beda dengan perilaku kontroversial justru sering dapet cuan dan perhatian lebih besar.
Sistem ini juga ngejelasin kenapa orang yang dianggap "bodoh" atau "jahat" bisa lebih sukses dan terkenal di era digital. Kontroversi itu malah jadi alat buat ngejar popularitas dan keuntungan—dan media sosial pun bikin semua itu makin mudah tersebar luas.
Negara Berkembang dan Permasalahannya
Banyak tantangan yang dihadapi negara berkembang. Seperti pendidikan yang masih rendah dan akses informasi yang terbatas. Hal ini punya peran besar buat ngejelasin kenapa orang yang dianggap "bodoh" atau "jahat" tetap bisa sukses dan terkenal.
Kombinasi faktor-faktor ini sering kali bikin lingkungan yang mendukung individu atau kelompok dengan pengaruh besar buat naik ke puncak. Meskipun mereka nggak selalu kompeten atau etis.
Di sini, pendidikan rendah bikin banyak orang kurang kritis dalam menilai informasi. Akses informasi yang terbatas bikin publik lebih gampang dipengaruhi narasi simpel atau sensasional.
Di negara berkembang, rendahnya kualitas pendidikan sering bikin banyak orang nggak punya pemahaman mendalam soal isu-isu sosial atau politik yang penting. Ini jadi celah buat mereka yang jago manfaatin narasi simpel atau retorika emosional buat narik perhatian publik.
Politisi atau tokoh yang ngomongnya gampang dimengerti bakal lebih diterima sama masyarakat yang terbatas akses pendidikannya.
Contohnya, politisi populis yang pake pendekatan emosional atau bahasa sehari-hari cenderung dapet dukungan lebih luas, meskipun ide atau kebijakan mereka kadang nggak terlalu masuk akal atau realistis.
Fenomena ini nunjukin gimana rendahnya pendidikan bisa jadi faktor penting kenapa orang yang dianggap "bodoh" tetap bisa sukses. Mereka nggak perlu dalem-dalem mikir atau ngerti isu yang kompleks. Paling penting, mereka nyampein sesuatu yang relatable dan gampang bikin orang percaya.
Apakah Ini Salah Sistem atau Individu?
Ketika ngomongin kenapa orang yang dianggap "bodoh" atau "jahat" bisa sukses dan terkenal, ada pertanyaan besar yang muncul:
Ini salah sistem kapitalismenya atau mereka pinter banget manfaatin celah yang ada?
Apakah Mereka yang Memanfaatkan Celah Sistem yang Salah?
Orang yang sukses lewat cara kontroversial biasanya jago banget baca kelemahan sistem. Entah di dunia kapitalisme, politik, atau media sosial. Mereka bukan cuma ngerti gimana sistem ini jalan, tapi juga pinter banget manfaatin celahnya buat keuntungan pribadi. Meskipun kadang caranya nggak etis. Pokoknya money is everything.
Kapitalisme: Fokus ke Hasil, Bukan Proses
Di kapitalisme, yang penting tuh hasil. Nggak peduli caranya gimana, asal populer atau cuan, ya dianggap sukses. Orang-orang ini tahu banget kalau drama itu magnet perhatian, dan perhatian berarti duit.
Jadi, kontroversi sengaja dibuat buat ngangkat nama mereka. Media dan publik, suka atau nggak, terjebak buat terus bahas.
Influencer yang suka pamer gaya hidup mewah. Kadang asal usul kekayaannya dipertanyakan, tapi bukannya hancur, mereka malah makin dikenal. Publik penasaran, pengikut nambah, duit pun mengalir dari endorsement.
Manfaatin Algoritma Media Sosial
Algoritma medsos lebih suka konten yang bikin emosi—entah bikin marah, ngakak, atau heran. Nah, orang-orang ini tahu banget cara "main" di sini. Mereka bikin konten yang provokatif, meski setengah fakta, karena tahu algoritma bakal naikin exposure mereka.
Strategi mereka: Bikin narasi dramatis biar rame — Pake clickbait buat bikin orang kepo — Nyulut debat panas, karena komen negatif pun tetap bantu naikin engagement.
Retorika Simpel di Politik
Di dunia politik, retorika simpel jadi senjata ampuh. Orang-orang ini suka bikin slogan catchy atau janji gede-gedean, yang sebenarnya cuma solusi dangkal dari masalah besar.
Tapi karena bahasanya gampang dimengerti, mereka tetap dapet dukungan, terutama dari masyarakat yang nggak dapet akses informasi mendalam.
Politisi populis yang punya track record buruk tapi tetep populer. Mereka jago banget mainin isu-isu yang bikin masyarakat merasa terhubung. Meskipun kadang janji-janji mereka nggak masuk akal.
Manfaatin Lemahnya Aturan
Kadang, sistem regulasi nggak secepat taktik manipulatif orang-orang ini. Hasilnya, mereka bebas ngelakuin hal-hal abu-abu tanpa takut ketahuan atau kena sanksi.
Influencer yang nggak transparan soal iklan terselubung, bikin publik nggak sadar kalau mereka lagi disuruh beli sesuatu. Atau, politisi yang nyebar hoaks buat nyerang lawan, terus ngandelin kecepatan medsos buat viral sebelum fakta muncul.
Apakah Sistem yang Membuat Ini Terjadi?
Tapi, ada juga yang berpendapat bahwa masalah ini bukan hanya soal individu, melainkan lebih terkait dengan sistem itu sendiri. Sistem kapitalisme yang lebih mementingkan keuntungan dan hasil instan tanpa memperhitungkan bagaimana cara mencapainya.
Ini memberi ruang bagi individu dengan pendekatan yang kurang etis untuk sukses. Dalam sistem seperti ini, yang penting itu outcome—mau itu didapat dengan cara yang baik atau tidak, yang penting hasilnya terlihat.
Begitu juga di politik, terutama orang-orang yang bikin kebijakan populer (disukai masyarakat namun faedahnya belum tentu bagus).
Pemimpin yang menggunakan bahasa simpel dan fokus pada isu emosional gampang diterima masyarakat. Mereka sering kali lebih berhasil menarik perhatian dibandingkan dengan yang mengedepankan kebijakan berbasis data dan analisis yang lebih kompleks.
Udah pemimpinnya oportunis dan pragmatis, plus masyarakatnya kadang ngaco juga. Kombinasi mematikan!
Pemimpin dengan retorika yang lebih menarik dan bisa menggugah emosi masyarakat, meskipun kadang kebijakannya kurang rasional atau realistis, sering kali bisa lebih mudah meraih dukungan.
Dalam konteks ini, sistem lebih mengutamakan hasil cepat dan pengaruh besar. Tanpa terlalu peduli dengan kualitas moral atau intelektual. Bakal ngasih celah bagi individu dengan pemikiran atau strategi yang kurang etis untuk meraih popularitas dan kesuksesan.
Jadi, masalahnya memang lebih besar dari sekadar individu—sistem yang ada juga punya peran besar dalam menciptakan kondisi ini.
Terus jadinya salah siapa?
DUA-DUANYA! baik individu maupun sistem punya andil besar dalam menciptakan kondisi di mana orang yang dianggap "bodoh" atau "jahat" bisa tetap sukses dan terkenal. Individu sering kali pintar memanfaatkan celah yang ada dalam sistem.
Sementara sistem itu sendiri—kayak kapitalisme, politik populis, dan media sosial—justru malah nambahin dampaknya dengan ngasih insentif buat perhatian instan dan keuntungan cepet. Jadi, keduanya saling nyambung, deh, dalam menciptakan fenomena ini.
Lalu, apakah kesuksesan yang diraih dengan cara tidak etis layak dihargai?
Pertanyaan ini sering jadi bahan perdebatan. Beberapa orang berpendapat bahwa jika seseorang bisa sukses dalam sistem yang udah rusak atau nggak adil, itu artinya mereka pintar memanfaatkan celah yang ada.
Namun, banyak juga yang beranggapan kalau kesuksesan yang datang dengan cara merugikan orang lain, manipulasi, atau kebohongan, seharusnya nggak pantas dihargai.
Kesuksesan yang diraih dengan cara-cara ini kadang dianggap normal. Tapi secara etika, banyak yang bilang kalau kesuksesan yang sejati nggak cuma dilihat dari hasil akhir, tapi juga dari proses yang dilalui.
Apakah itu dilakukan dengan kebaikan, kejujuran, dan integritas, atau malah dengan mengorbankan prinsip moral demi keuntungan pribadi.
Penutup
Kesuksesan yang sering diraih sama orang-orang yang nggak selalu patuh sama norma sosial atau etika bisa dijelasin dari beberapa faktor: sistem, psikologi masyarakat, dan strategi pribadi.
Sistem kapitalisme dan algoritma media sosial bikin konten yang bikin heboh—entah positif atau negatif—jadi lebih gampang naik. Pokoknya, hasil akhir lebih diprioritaskan daripada prosesnya.
Secara psikologis, manusia emang cenderung milih informasi yang gampang dicerna dan emosional. Jadi, orang yang pintar baca celah ini bisa banget naik daun walau caranya kontroversial.
Apalagi ditambah budaya yang lebih suka drama daripada isi, nggak heran kalau banyak yang dukung figur publik yang tampil mengesankan meski cara mereka nggak selalu oke.
Terus, kita harus ngapain? Kayaknya gak adil banget kan orang yang jahat atau bodoh makin kaya atau terkenal.
Mungkin kita gak sepenuhnya mengubah bagaimana dunia ini bekerja—di mana sering kali orang yang "jahat" atau "bodoh" bisa mencapai kesuksesan yang besar. Dunia ini memang didorong oleh hasil, bukan proses.
Sistem kapitalisme serta algoritma media sosial yang mengutamakan engagement sering memberi jalan buat orang-orang tersebut untuk meraih popularitas dan keuntungan. Hal-hal berikut yang bisa kita lakukan:
Fokus pada Pengembangan Diri: Jadilah Versi Terbaik Dirimu!
Di dunia yang sering mengutamakan hasil instan dan sensasi, kita bisa memilih untuk fokus pada apa yang benar-benar bisa kita kontrol: diri kita sendiri.
Bukannya terjebak dalam kompetisi yang menuntut kemenangan cepat, mungkin kita bisa memilih untuk menjadi lebih baik setiap hari—baik dalam hal keterampilan maupun karakter.
Pengembangan diri itu lebih dari sekadar menguasai ilmu, tetapi juga tentang menjadi lebih bijak, lebih beretika, dan lebih peduli terhadap orang lain. Hasilnya? Mungkin nggak instan, tapi kepuasan jangka panjang yang datang dari menjadi orang yang lebih baik itu jauh lebih berarti.
Bijak Mengonsumsi dan Membagikan Konten: Jangan Terjebak Sensasi!
Kita hidup di dunia yang dibanjiri konten—baik itu di media sosial, berita, bahkan iklan. Bayangkan, setiap hari kita disodori pilihan, dan kadang, godaan untuk klik sesuatu yang sensasional itu besar banget.
Tapi, kita punya pilihan untuk jadi lebih selektif!
Alih-alih ikut menyebarkan berita yang hanya mencari perhatian sesaat, kenapa nggak memilih untuk membagikan konten yang lebih bermanfaat? Yang bisa mendidik, menginspirasi, atau sekadar bikin orang berpikir lebih kritis.
Dukung yang Pantas Didukung: Pilihlah yang Membawa Dampak Positif!
Nggak usah ragu untuk memilih mendukung mereka yang benar-benar layak mendapat dukungan. Dalam dunia yang penuh sensasi ini, kita bisa jadi pembeda.
Dari dunia politik, hiburan, hingga bisnis, kita punya kekuatan untuk mendukung mereka yang menjalankan segala sesuatunya dengan integritas dan etika.
Dengan memberi dukungan kepada yang benar, kita nggak hanya membantu mereka berkembang, tapi juga secara nggak langsung turut menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan lebih baik buat kita semua.
Berpikir Kritis Terhadap Sistem: Jangan Terlalu Percaya Semua yang Terjadi!
Sistem di sekitar kita mungkin nggak selalu sempurna, dan terkadang memberi ruang bagi mereka yang nggak beretika untuk berhasil. Tapi, itu nggak berarti kita harus menyerah. Kita punya kemampuan untuk berpikir kritis dan melawan apa yang nggak adil.
Misalnya, dengan mencari tahu lebih dalam tentang kebijakan yang kita anggap bermasalah, atau menyuarakan ketidaksetujuan kita dengan cara yang konstruktif. Mungkin impactnya kecil, tapi kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi?
Jangan Takut Memilih Jalan yang Lebih Sulit, Tapi Benar!
Kadang kita merasa tertekan untuk ikut tren atau mengikuti cara instan untuk mencapai kesuksesan. Sebenernya, gak ada yang bisa melarang orang buat melakukan apa yang mereka mau.
Tapi, jangan lupa bahwa hasil yang diraih dengan cara yang nggak jujur atau nggak sesuai prinsip kita itu nggak akan memberikan kepuasan sejati.
Kita bisa memilih jalan yang lebih sulit—tapi itu adalah jalan yang penuh integritas, yang akhirnya akan membawa kita pada kebahagiaan dan kepuasan yang lebih mendalam.
Jalan yang benar mungkin nggak selalu gampang, tapi percayalah, itu akan membentuk karakter kita menjadi lebih kuat dan lebih siap menghadapi tantangan hidup!
Intinya, kita bebas kok untuk bertindak sesuai apa yang kita mau. Tapi kebebasan itu juga membawa tanggung jawab. Pilihan-pilihan yang kita buat hari ini akan membentuk masa depan.
Jadi, daripada sekadar mengikuti arus, kenapa nggak mencoba jadi arus yang membawa perubahan baik? Ingat, perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil kita.