Life Skills

Solitude vs Kesepian: Mengapa Keduanya Berbeda?

Rahajeng Lintang Safitri
5 Feb 2025
9 read

Pernah gak sih ngerasa kesepian? Bukan cuma pas lagi sendirian di kamar, tapi bahkan di tengah keramaian. Orang-orang ramai ngobrol, ketawa-tawa, tapi hati rasanya kosong banget.

Kayak ada jarak yang nggak kelihatan, bikin kita merasa nggak terhubung sama siapa pun. Meski dikelilingi banyak orang, tetep aja ada perasaan hampa yang nggak bisa dijelaskan.

Hal ini wajar banget, bahkan menurut survei dari Gallup tahun 2023, 1 dari 4 orang di seluruh dunia pernah merasa kesepian di dalam hidup mereka.

Ini berarti ada sekitar 2 Miliar orang yang ngerasa lonely!  Nah, masalahnya, kesepian ini bahaya kalau dibiarin. Ketika perasaan kesepian terus menerus muncul, bisa mempengaruhi kesehatan mental kita dan bahkan menambah risiko masalah fisik.

Beda cerita kalau kita ngomongin soal solitude. “Lho, bedanya apa tuh?”

Solitude itu kondisi saat kita sengaja memilih buat sendiri, bukan karena nggak ada orang, tapi karena kita butuh waktu buat merenung, istirahat, atau sekadar ngasih ruang buat diri sendiri.

Menurut sebuah studi di Journal of Psychology, orang yang rutin meluangkan waktu buat sendiri cenderung punya kontrol emosi yang lebih baik dan lebih mampu mengelola stres.

Sebenernya, apa sih bedanya kesepian dan “solitude” ini? Terus apa sih dampaknya ke mental kita? Simak terus ya!

Solitude atau Kesepian: Mana yang Lagi Kamu Rasain?

Kalian pernah ngerasa sendirian, tapi nggak kesepian? Atau sebaliknya, di tengah banyak orang tapi malah merasa hampa?

Nah, ini karena ada perbedaan besar antara solitude dan kesepian. Meskipun keduanya sama-sama soal “sendirian”.

Solitude adalah momen yang kita pilih sendiri buat rehat dari hiruk-pikuk dunia. Kita sengaja ambil waktu buat diri sendiri. Tujuan utamanya adalah refleksi, merenung, atau sekadar mencari ketenangan.

Dalam solitude, kita merasa nyaman karena memang butuh waktu buat sendiri. Ini adalah keputusan sadar yang bikin kita lebih fokus dan mengenal diri sendiri lebih baik.

Sementara itu, kesepian adalah perasaan nggak enak yang muncul karena kita merasa nggak punya koneksi emosional yang berarti. Beda sama solitude kita pilih sendiri, kesepian biasanya datang tanpa diundang.

Kita bisa aja dikelilingi banyak orang, tapi tetap merasa kosong dan nggak nyambung sama siapa pun.

“Solitude expresses the glory of being alone, while loneliness expresses the pain of being alone.”

- Paul Tillich -

Jadi, kalau solitude itu waktu sendiri yang kita nikmati, kesepian itu perasaan sendirian yang bikin nggak nyaman. Intinya, solitude itu soal pilihan, sedangkan kesepian lebih ke perasaan.

Beda Dampak: Solitude yang Positif vs Kesepian yang Merugikan

Sebelumnya kita udah bahas soal perbedaan antara solitude dan kesepian. Nah, buat dampaknya ke diri kita itu gimana?

Solitude dan kesepian tuh beda banget dampaknya ke mental dan fisik. Solitude yang dipilih dengan sengaja itu bisa jadi hal yang positif buat diri kita.

Banyak studi yang nunjukin kalau waktu sendirian itu bisa jadi kesempatan buat ngelakuin self-reflection.

Apa sih self-reflection itu?

Self-reflection adalah proses berpikir secara mendalam tentang diri kita sendiri. Entah itu tentang tindakan, perasaan, atau pikiran yang kita alami sehari-hari.

Ini ngebantu kita untuk lebih memahami siapa diri kita, apa yang kita inginkan, dan bagaimana kita bisa berkembang.

Menurut artikel yang dipublikasikan di Psychology Today, ternyata solitude bisa ningkatin produktivitas dan bikin kita lebih jernih dalam berpikir. Pas sendirian, otak kita bisa lebih fokus tanpa gangguan dan lebih gampang nyelesain masalah.

Ini juga bisa jadi cara buat ngisi ulang energi mental. Apalagi buat orang yang sering ngerasa overwhelmed karena terlalu banyak aktivitas sosial atau kerjaan​.

Kalau solitude bisa kasih dampak yang positif, kesepian sebaliknya. Dampaknya buat mental dan fisik bisa berbahaya.

Kesepian itu nggak cuma bikin kita merasa kosong, tapi juga bisa ngeganggu kesehatan mental kita.

Penelitian dari CDC nunjukin kalau kesepian yang berkepanjangan bisa memicu masalah kayak kecemasan, depresi, dan perasaan nggak berharga.

Selain itu, kesepian juga ngaruh ke cara kita mikir dan lihat diri sendiri. Orang yang kesepian sering merasa lebih terisolasi, yang bikin perasaan negatif makin parah dan merasa nggak ada yang peduli.

What Loneliness Does To Your Brain And Body?

Selain itu, kesepian yang berlarut-larut bisa memperburuk interaksi sosial. Individu yang merasa kesepian seringkali cemas atau takut kalau orang lain nggak akan peduli. Akhirnya bikin mereka menjauhi interaksi sosial.

Semakin kita merasa kesepian, semakin susah untuk membuka diri dan berhubungan dengan orang lain. Rasa takut kalau nggak ada yang peduli bisa bikin kita malah semakin menjauh, padahal interaksi sosial itu justru yang dibutuhkan buat keluar dari perasaan itu​.

Menurut American Heart Association, kesepian bisa berdampak serius buat kesehatan fisik kita. Kalau kita terus-terusan merasa kesepian atau terisolasi, itu bisa nambahin risiko penyakit jantung, stroke, bahkan diabetes tipe 2.

Jadi, nggak cuma bikin hati jadi kosong, tubuh kita juga bisa kena dampaknya​. Serem banget kan?

Kapan Kamu Butuh Ruang Sendiri dan Kapan Kamu Butuh Seseorang?

Kita udah tahu nih soal dampak dari solitude dan kesepian. Terus, solitude ini bisa dipraktekan kapan aja sih?

Waktu sendirian itu penting ketika kita merasa butuh untuk mengisi ulang energi. Ada banyak situasi di mana kita perlu mengambil langkah mundur, menjauh dari keramaian, dan memberi ruang untuk diri sendiri.

Misalnya, setelah seharian berinteraksi dengan orang banyak, otak kita bisa jadi kewalahan dan butuh waktu untuk reset. Begitu juga kalau kita lagi merasa stress atau tertekan.

Ketika kita terus-terusan terpapar pada masalah atau interaksi sosial, kita mungkin nggak bisa berpikir dengan jernih.

Solitude ngasih kita kesempatan untuk merenung, mengatur ulang prioritas, dan memulihkan kesehatan mental. Ini juga bisa jadi momen untuk refleksi diri, di mana kita bisa mengevaluasi perasaan dan tujuan hidup kita.

Selain itu, waktu sendirian itu juga membantu kita untuk lebih memahami diri sendiri, meningkatkan kemampuan introspeksi, dan merencanakan langkah-langkah ke depan dalam hidup.

Tapi di satu sisi, terkadang kita juga butuh orang lain untuk berbicara atau sekadar berbagi perasaan.

Khususnya, saat kita merasa kesepian atau tertekan. Berada di dekat seseorang yang peduli bisa memberikan perasaan yang sangat menenangkan.

Interaksi sosial lebih dari sekadar mencari hiburan. Ini tuh cara untuk membangun hubungan dengan orang lain. Supaya kita diterima, dipahami, dan dihargai.

Ketika kita merasa terisolasi, dukungan dari teman atau keluarga sangat berharga karena bisa membantu mengurangi perasaan terasing.

Ini juga bisa menjadi cara untuk membuka diri. Berkomunikasi tentang perasaan yang sulit kita ungkapkan sendiri atau sekadar mendapatkan perspektif baru dari orang lain yang kita percayai.

Intinya, kita perlu tahu kapan saat yang tepat untuk mencari waktu sendiri dan kapan kita butuh orang lain. Kedua hal itu saling melengkapi dan penting untuk menjaga keseimbangan emosional.

Solitude yang sehat itu ketika kita secara sadar menggunakan waktu tersebut untuk merawat diri, merefleksikan pengalaman, dan memulihkan energi tanpa merasa terisolasi dari dunia luar.

Waktu sendirian memberikan ruang untuk refleksi dan pemulihan, sementara dukungan dari orang lain memberi kita kekuatan dan rasa terhubung dengan dunia sekitar.

Ketika Me Time Jadi Bumerang: Ciri-Ciri Solitude Berubah Jadi Kesepian

Solitude sering dianggap sebagai cara yang baik buat recharge energi, refleksi diri, atau ningkatin kualitas hidup. Tapi, ada momen di mana solitude jadi toxic.

Ini ketika kita milih sendiri bukan karena pengen tenang, tapi karena lagi nggak baik-baik aja secara mental.

Alih-alih membantu, situasi ini malah bikin kita makin kesepian dan jauh dari dukungan sosial yang sebenarnya kita butuhkan.

Ketika “me time” berubah jadi isolasi diri karena stres, overthinking, atau rasa cemas, kita mungkin merasa terputus dari dunia luar. Disini jatuhnya bukan solitude lagi, tapi self isolation.

cr: pinterest
Bukannya nenangin pikiran, “solitude” semacam ini justru memperparah perasaan hampa. Kita jadi ragu buat berinteraksi dan malah memupuk keyakinan negatif tentang diri sendiri.

Kalau bahas self isolation, gue jadi keinget hikikomori di Jepang. Ini fenomena ekstrim di mana orang memilih menghindari dunia luar dan tinggal di kamar berbulan-bulan.

Hikikomori seringkali merupakan pelarian dari tekanan sosial seperti ekspektasi tinggi. Orang yang mengalami ini merasa cemas dan lebih memilih menghindari interaksi.

Solitude yang sehat harusnya terasa intentional—kita sadar waktu sendiri ini dipakai untuk merawat diri, refleksi pengalaman, atau sekadar memulihkan energi.

Tapi kalau solitude diambil karena rasa nggak percaya diri atau penghindaran sosial, risikonya adalah makin terjebak dalam lingkaran kesepian.

Orang yang merasa "Gak ada yang peduli sama gue." bisa jadi makin menjauh dari lingkungan. Padahal langkah kecil buat ngobrol sama teman atau keluarga bisa membantu mereka keluar dari isolasi tersebut.

Me time yang sehat memang penting buat recharge energi dan refleksi diri, tapi kalau kita salah menggunakan waktu itu, malah bisa jadi bumerang.

Ketika kita terlalu lama sendirian karena nggak nyaman dengan diri sendiri atau lagi stres, kita justru terjebak dalam perasaan kesepian yang makin dalam.

Padahal, keinginan untuk "me time" semestinya bisa jadi cara buat beristirahat dan memulihkan diri, bukan malah menjauh dari kenyataan.

Penting buat diingat, meski waktu sendiri itu dibutuhkan, ada perbedaan besar antara memberi ruang untuk diri sendiri dan menghindari orang lain karena rasa cemas atau takut.

Kesepian dalam Era Digital: Mengapa Terkoneksi Lebih Sering Menjadi Terisolasi

Di zaman sekarang, kita bisa dibilang selalu "terhubung" lewat media sosial. Tapi, meski kita dikelilingi banyak orang secara virtual, rasa kesepian bisa datang tanpa diundang. Kenapa ya?

  1. Koneksi Virtual yang Kurang Memadai
    Walaupun kita sering chatting atau video call, ada sesuatu yang hilang dari interaksi digital. Coba deh, bandingin ngobrol langsung sama cuma lewat pesan. Pasti beda banget, kan?

    Menurut beberapa penelitian, seperti yang diterbitkan di Journal of Social and Clinical Psychology, semakin sering orang berinteraksi di media sosial, justru semakin besar rasa kesepian yang dirasakan.

    Tanpa sentuhan fisik, ekspresi wajah, atau bahasa tubuh, percakapan online terasa lebih datar dan kurang bermakna.

  2. Terjebak Perbandingan Sosial
    Kita semua tahu, media sosial sering banget nunjukin sisi terbaik orang lain—liburan, hidup bahagia, pencapaian keren. Nah, ini bisa bikin kita merasa tertinggal, atau malah merasa hidup kita nggak sebagus itu.

  3. Kualitas Interaksi yang Kurang
    Sering kali, kita ngobrol lewat chat cuma buat nanya kabar atau sekedar saling like postingan. Itu nggak ada yang salah, sih. Tapi, percakapan kayak gini biasanya nggak se bermakna obrolan langsung yang lebih dalam dan personal.

    Interaksi online yang nggak mendalam justru bisa bikin kita merasa lebih jauh dari orang lain, karena nggak ada koneksi emosional yang kuat.

Solusi Menjaga Keseimbangan antara Solitude dan Koneksi Sosial

Menjaga keseimbangan antara waktu sendiri (solitude) dan tetap terhubung dengan orang lain itu penting banget buat kesehatan mental kita.

Buat ngebantu jaga keseimbangan antara waktu sendiri dan waktu sosial, kamu bisa praktekin hal-hal dibawah ini:

Tentuin Waktu untuk "Me Time"

Menyisihkan waktu untuk diri sendiri atau "me time" itu penting banget buat nge-recharge energi kita. Apalagi kalau kita disibukkan dengan berbagai hal, mulai dari pekerjaan sampai interaksi sosial yang tiada henti.

Dalam bukunya "The Art of Solitude", Stephen Batchelor menyarankan agar kita memaknai waktu sendiri sebagai kesempatan untuk refleksi diri dan kedamaian, bukan sebagai pelarian atau penghindaran sosial.

Solitude yang sehat memberi kita kesempatan untuk berpikir lebih jernih, mengisi ulang energi, dan melakukan hal-hal yang kita suka, seperti hobi atau sekadar relaksasi.

Namun, penting banget juga buat memastikan waktu sendirian itu digunakan untuk tujuan yang positif. Jangan sampai waktu sendiri malah jadi kesempatan buat terjebak dalam pikiran negatif.

Fokuslah pada kegiatan yang bisa membuat kita merasa lebih baik, seperti journaling, meditasi, atau berkreativitas. Bukan justru menghindari diri dari perasaan yang perlu dihadapi.

Dengan begitu, "me time" bisa jadi momen yang memperkuat mental dan membuat kita lebih siap untuk menghadapi dunia luar.

Batasi Penggunaan Media Sosial

Meskipun media sosial bisa memberi kita rasa terhubung dengan orang lain, kenyataannya sering kali hal tersebut malah bisa menambah perasaan kesepian.

Ketika kita terlalu sering scroll timeline atau terjebak dalam dunia maya, kita bisa kehilangan koneksi emosional yang mendalam dengan orang lain.

Oleh karena itu, cobalah untuk menetapkan batasan penggunaan media sosial. Misalnya dengan mengurangi waktu berinteraksi secara pasif (seperti scroll tanpa tujuan) dan fokus pada interaksi bermakna.

Pastikan interaksi online memberikan rasa kepuasan emosional dan bukan sekadar hiburan sementara.

Lakukan Kegiatan Sosial yang Bermakna

Penting untuk ngeluangin waktu untuk berinteraksi dengan teman, keluarga, atau komunitas. Ini karena hubungan sosial itu merupakan bagian penting dari kesehatan mental kita.

Tapi, yang lebih penting adalah kualitas daripada kuantitas. Gak semua interaksi sosial bikin kita merasa lebih terhubung.

Lebih baik ngabisin waktu dengan satu atau dua orang yang kita percayai untuk ngobrol dan berbagi perasaan daripada ngumpul rame-rame tapi gak ada connection.

Kegiatan sosial yang bermakna bisa mengurangi perasaan kesepian dan memberikan dukungan emosional yang lebih kuat.

Sisihkan Waktu untuk Refleksi Diri

Ngeluangin waktu buat merenung itu penting banget buat menjaga keseimbangan emosional kita.

Tapi, hati-hati, jangan sampe refleksi diri malah berubah jadi rumination (mikirin hal-hal negatif terus-menerus tanpa solusi jelas).

Ini malah bisa bikin kita semakin cemas dan terjebak dalam perasaan buruk.

Coba deh, buat kebiasaan refleksi yang lebih positif, kayak meditasi atau journaling. Ini bisa bantu kita buat ngevaluasi perasaan, ngerencanain langkah hidup selanjutnya, dan lebih jelas tentang apa yang kita mau.

Dengan cara ini, otak kita bisa lebih tenang dan siap menghadapi segala tantangan yang datang.

Selain itu, merenung dengan cara yang sehat juga bisa bantu kita ngerti lebih dalam soal emosi sendiri. Ini akhirnya bakal memperbaiki hubungan kita dengan orang lain.

Jadi, jangan takut untuk meluangkan waktu untuk diri sendiri, tapi pastikan refleksi itu membawa dampak positif!

Kenali Tanda-Tanda Kesepian

Terkadang kita nggak nyadar kalau perasaan kesepian mulai muncul. Ngerasa sepi padahal dikelilingi orang atau rasa kosong yang susah dijelasin bisa jadi tanda-tanda kesepian.

Itu sebabnya penting banget buat ngeh sama perasaan itu sejak awal, biar kita bisa ngambil tindakan buat ngatasinnya.

Kalau mulai merasa kesepian, coba aja cari seseorang buat diajak ngobrol.

Kesadaran terhadap perasaan kesepian adalah langkah pertama buat keluar dari isolasi. Jangan sampai perasaan itu berkembang jadi masalah yang lebih besar. Kalau perlu, kamu bisa dateng ke psikolog untuk konsultasi terkait masalah yang dihadapi.

Dengan mengakui dan cari dukungan, kita bisa mencegah perasaan negatif itu makin menekan kita.

Jaga Keseimbangan Emosional

Solitude dan interaksi sosial harus berjalan seimbang. Jika kita terlalu banyak waktu sendirian, kita bisa terjebak dalam perasaan terisolasi dan kesepian.

Sebaliknya, jika kita terlalu banyak berinteraksi dengan orang lain tanpa memberi waktu untuk diri sendiri, kita bisa merasa kelelahan atau kehilangan arah.

Keseimbangan emosional itu penting untuk menjaga kesehatan mental.

Cobalah untuk menyeimbangkan aktivitas yang memberi energi dengan yang memerlukan waktu untuk refleksi diri.

Misalnya, setelah berkumpul dengan teman-teman, luangkan waktu untuk diri sendiri supaya bisa mengisi ulang energi.

Kita bisa memastikan kesehatan mental kita tetap terjaga dengan menjaga keseimbangan ini.