
Seperti kata Carl Jung, 'Saya lebih suka menjadi utuh daripada menjadi baik.' Artinya, baik emosi positif maupun negatif adalah bagian dari diri kita yang harus diterima.
Pernah nggak sih, kamu curhat tentang masalah yang sedang kamu hadapi, dan temanmu malah bilang, “Coba deh berpikir positif aja!” atau “Terima diri kamu apa adanya!”
Kalimat-kalimat yang terdengar seperti nasihat bijak ini justru sering kali membuat kita merasa lebih terjebak, bahkan lebih stres.
Apalagi di era media sosial, di mana segala hal terlihat sempurna, tekanan untuk selalu tampil positif bisa semakin besar.
Toxic positivity muncul ketika kita dipaksa untuk fokus pada sisi positif dan mengabaikan emosi negatif.
Padahal, perasaan negatif itu perlu diproses, bukan disingkirkan begitu saja. Bukannya merasa lebih baik, kita malah merasa ada yang salah dengan diri kita hanya karena tidak selalu merasa bahagia atau cukup "positif."
Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam tentang toxic positivity, mengapa nasihat yang tampaknya bijak justru bisa membuat kita merasa terjebak.
Bagaimana kita bisa memberikan dukungan yang lebih nyata dan empatik untuk diri kita dan orang lain.
Siap untuk menyelami dampak dari toxic positivity? Yuk, lanjut baca!
Sisi Gelap Toxic Positivity

Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah kecenderungan memaksakan diri untuk selalu berpikir positif dan menekan atau mengabaikan perasaan negatif, seolah-olah perasaan tersebut nggak punya tempat dalam hidup kita.
Pada dasarnya, ini adalah pola pikir yang menganggap bahwa segala situasi, bahkan yang paling sulit sekalipun, harus dihadapi dengan optimisme dan senyum lebar.
Jadi, kalau kamu merasa sedih, stres, atau marah, itu gak boleh! Yang ada, kamu harus terima diri apa adanya dan berpikir positif aja.
Walaupun niatnya bisa jadi baik, yaitu untuk memberi dukungan atau mencoba meringankan beban, nasihat seperti ini justru bisa memperburuk keadaan.
Ketika kita terlalu fokus pada sisi positif, kita jadi nggak memberi ruang bagi diri kita sendiri untuk merasakan dan memproses emosi negatif.
Dalam psikologi, ini disebut sebagai penolakan emosi yang justru bisa memperburuk kondisi mental kita.
Sayangnya, tekanan untuk selalu positif tidak hanya datang dari diri sendiri, tetapi juga dari lingkungan sekitar, terutama di era media sosial ini. Di sini, banyak orang merasa seakan-akan mereka harus selalu terlihat baik-baik saja.
Pikirkan deh, berapa banyak postingan yang kita lihat dengan caption "life is good" atau "positive vibes only"?
Seolah-olah ada tekanan besar untuk selalu terlihat bahagia, bahkan ketika kenyataannya kita sedang berjuang dengan perasaan negatif.
Bayangkan kamu baru saja kehilangan pekerjaan atau menghadapi masalah dalam hubungan.
Salah satu teman atau keluarga mungkin datang dengan niat baik, menyarankan kamu untuk "berpikir positif" atau "lihat sisi baiknya." Misalnya mereka berkata, "Jangan khawatir, pasti ada jalan keluarnya!"
Meskipun ini terdengar baik-baik saja, bagi banyak orang yang sedang berjuang, ini bisa terasa seperti penolakan terhadap perasaan mereka.
Kita nggak diberi kesempatan untuk merasa sedih, kecewa, atau bahkan marah tentang apa yang sedang kita hadapi.
Sebaliknya, kita dipaksa untuk berpikir bahwa perasaan negatif itu buruk, dan kita harus mengabaikannya agar bisa merasa "baik-baik saja."
Padahal, itu justru bisa menambah stres dan membuat kita merasa lebih terisolasi.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi saat kita terus dipaksa untuk "berpikir positif"?
Itulah yang membawa kita pada dampak negatif toxic positivity yang sering kali tak kita sadari.
Dampak Negatif Toxic Positivity

Nah, kenapa sih toxic positivity ini bisa berbahaya?
Ketika kita terus-menerus ditekan untuk merasa positif atau terima diri apa adanya, perasaan negatif kita malah nggak tersalurkan dengan baik.
Ini bisa berujung pada peningkatan stres bahkan burnout. Dalam jangka panjang, tidak memberi ruang untuk merasakan emosi negatif bisa mengarah pada ketidakpuasan dan perasaan terjebak.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA), stres yang tidak dikelola dengan baik bisa mempengaruhi fisik dan mental kita, menyebabkan masalah seperti kecemasan, depresi, dan gangguan tidur.
Ketika orang merasa seperti mereka harus selalu baik-baik saja, tanpa mengakui kesulitan yang mereka hadapi, hal ini bisa meningkatkan tingkat kecemasan dan rasa tidak aman. Sehingga, untuk memahami lebih dalam, aku akan membahas beberapa dampak negatif yang bisa muncul akibat toxic positivity ini.
Self-Acceptance vs Toxic Positivity
“Self-acceptance is not a state of stagnation. It's a recognition that we are constantly evolving, even in the face of challenges.” — Dr. Kristin Neff,
Kita sering mendengar nasihat seperti, "terima diri apa adanya," yang secara umum memang punya dampak positif pada kesejahteraan mental kita. Namun, ada perbedaan besar antara self-acceptance yang sehat dan toxic positivity.
Self-acceptance dalam konteks yang sehat berarti kita menerima kekurangan dan kelebihan diri, tanpa merasa harus selalu menjadi versi terbaik dari diri kita di setiap saat.
Itu adalah cara kita belajar untuk menghargai diri sendiri meskipun ada bagian-bagian dalam hidup yang tidak sempurna. Self-acceptance itu penting, karena kita membutuhkan penerimaan diri untuk bergerak maju.
Namun, ketika "terima diri apa adanya" digunakan dalam konteks toxic positivity, bisa berbalik menjadi jebakan.
Mengapa? Karena toxic positivity cenderung mengabaikan adanya ruang untuk perubahan atau perbaikan diri.
Kita dipaksa untuk merasa bahwa keadaan kita harus diterima sepenuhnya, bahkan jika kita merasa perlu melakukan perubahan besar dalam hidup.
Artinya, meskipun kita mungkin ingin berkembang, tekanan untuk "baik-baik saja" atau "berpikir positif" membuat kita merasa terjebak.
Perasaan Stagnasi: Ketika Perubahan Jadi Terasa Sulit

Pernah nggak merasa stuck? Kayak hidupmu udah nggak berkembang lagi atau nggak ada perubahan signifikan dalam diri?
Nah, perasaan stagnasi ini seringkali timbul ketika kita terlalu terjebak dalam pola pikir "terima diri apa adanya," yang akhirnya malah membuat kita frustrasi.
Bayangkan kalau kamu disuruh untuk “terima diri apa adanya,” tetapi dalam hati kecil kamu tahu bahwa ada banyak aspek dalam hidupmu yang ingin kamu ubah atau perbaiki.
Ibarat kita disuruh untuk menikmati sebuah lukisan yang sudah lama rusak. Mungkin ada bagian yang hilang atau tergores, tetapi kita terus diingatkan untuk menerima lukisan itu apa adanya.
Pada satu titik, itu mungkin membuat kita merasa seperti "ini sudah cukup".
Padahal sebenarnya kita ingin memperbaikinya, mengubahnya, atau bahkan membuatnya lebih indah lagi.
Sama seperti dalam hidup kita, kita bisa menerima kekurangan kita, tetapi bukan berarti kita tidak bisa berusaha untuk memperbaiki diri dan berkembang.
Dalam psikologi, kita mengenal teori self-actualization dari Abraham Maslow, yang merupakan puncak dari hierarki kebutuhan.
Menurut Maslow, untuk mencapai aktualisasi diri (self-actualization), seseorang harus melalui serangkaian tahap perkembangan pribadi yang meliputi penerimaan diri, keamanan emosional, dan pertumbuhan pribadi.
Self-acceptance adalah langkah pertama dalam proses ini. Namun, jika seseorang terjebak dalam toxic positivity, mereka mungkin mengabaikan kebutuhan untuk perubahan dan pertumbuhan, sehingga proses menuju aktualisasi diri bisa tertunda.
Carol Dweck bilang, kalo mindset yang berkembang (growth mindset) yaitu, terjadi ketika kita percaya bahwa kemampuan dan kualitas diri kita bisa berkembang melalui usaha, bukan dengan menganggap segala hal sudah cukup apa adanya.
Jika kita terjebak dalam pola pikir yang berfokus pada penerimaan tanpa perubahan, kita bisa merasa stagnan dan tidak puas dengan diri kita sendiri.
Dampak pada Pencarian Bantuan
Salah satu dampak paling besar dari toxic positivity adalah kemampuannya untuk menghalangi seseorang mencari bantuan.
Banyak orang merasa takut atau malu untuk mencari dukungan kesehatan mental karena khawatir dianggap “lemah” atau “cengeng.”
Ketika ada tekanan untuk selalu berpikir positif, orang jadi merasa perlu menyembunyikan perasaan negatif mereka. Padahal justru itu adalah saat mereka sangat butuh bantuan.
Navigating hidup dengan masalah kesehatan mental aja udah cukup berat, ditambah lagi dengan isolasi, rasa disalahkan, dan kerahasiaan yang sering muncul karena stigma.
Menurut survei WHO 2019, 1 dari 8 orang di dunia, atau sekitar 970 juta orang, hidup dengan gangguan mental, terutama kecemasan dan depresi.
Angka ini meningkat pesat pada 2020 akibat pandemi COVID-19. Sayangnya, meskipun banyak yang membutuhkan, hanya sedikit yang mendapatkan perawatan yang tepat.
Stigma, termasuk toxic positivity, sering menjadi penghalang utama dalam pencarian dukungan kesehatan mental.
Misalnya, ada stigma masyarakat yang sering menuntut laki-laki untuk selalu terlihat kuat dan baik-baik saja. Hal ini sering kali membuat mereka merasa sungkan untuk curhat atau mengungkapkan perasaan mereka, terutama saat sedang capek atau tertekan.
Mereka takut kalau dianggap lemah, cengeng, atau bahkan tidak bersyukur, padahal sebenarnya mereka butuh dukungan atau sekadar untuk didengarkan.
Akibatnya, banyak laki-laki yang memilih untuk diam dan menahan perasaan mereka, yang justru bisa memperburuk kondisi mental mereka.
Penting untuk diingat, bahwa masalah ini serius. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2016, diperkirakan ada sekitar 793.000 kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia, dan sebagian besar pelakunya adalah laki-laki.
Mempertegas betapa pentingnya kita untuk mulai membuka ruang lebih bagi mereka untuk merasa dan berbicara tanpa takut dihakimi.
Lantas, Bagaimana Menghindari Toxic Positivity?
Empati: Membuka Ruang untuk Perasaan, Bukan Penghakiman

Sebagai manusia, kita tentu sering kali dihadapkan pada situasi di mana orang di sekitar kita sedang mengalami kesulitan.
Terkadang, kita merasa ingin membantu dengan memberikan nasehat atau bahkan mendorong mereka untuk "move on" dan berpikir positif.
Namun, penting untuk kita sadari bahwa terkadang, yang dibutuhkan bukanlah solusi atau dorongan untuk segera berpikir positif, melainkan pengakuan terhadap perasaan yang sedang mereka alami. Empati berperan penting dalam hal ini.
Empati berarti memahami dan mengakui perasaan orang lain, bukan hanya mengharuskan mereka untuk “move on” atau berpikir positif secepatnya.
Empati bisa dimulai dengan mendengarkan secara aktif. Jangan buru-buru menawarkan solusi atau memberi nasehat, cukup dengarkan mereka dengan penuh perhatian. Beri mereka ruang untuk merasa dan berbicara tanpa takut dihakimi.
Brene Brown, seorang peneliti sosial dan penulis buku “Daring Greatly”, menjelaskan, “Empati bukan tentang mencoba memperbaiki perasaan orang lain atau memberi mereka solusi. Empati adalah tentang duduk bersama mereka di dalam perasaan mereka, tanpa mencoba mengubahnya. Itu adalah bentuk dukungan yang lebih baik.”
Dengan begitu, kita bisa memberikan dukungan emosional yang lebih sehat, bukan dengan memaksakan optimism semata, tapi dengan mengakui dan mendampingi mereka dalam proses penyembuhannya.
Ada beberapa cara sederhana tapi sangat berdaya untuk menunjukkan empati yang mendalam dan memberikan dukungan emosional yang lebih sehat.
1.Mendengarkan dengan penuh perhatian: Ketika teman kita sedang bercerita, berhenti sejenak dan fokus sepenuhnya pada mereka.
Matikan ponselmu, jangan berpikir tentang jawaban yang akan kamu beri. Cukup dengarkan mereka. Ini akan menunjukkan bahwa kamu benar-benar peduli dan menghargai perasaan mereka.
2. Tanyakan apa yang mereka butuhkan: Setiap orang berbeda, dan sering kali kita merasa ingin membantu dengan cara kita sendiri, padahal yang mereka butuhkan mungkin hanya waktu dan ruang untuk merasa.
Cobalah untuk bertanya, “Ada yang bisa gue bantu?” atau “Lo butuh apa sekarang?” Hal ini memberi mereka kontrol penuh atas situasi mereka dan memberi mereka ruang untuk memberi tahu apa yang mereka butuhkan tanpa merasa tertekan.
3. Menerima dan mengakui perasaan negatif mereka: Daripada memberitahukan mereka untuk "move on" atau "berpikir positif", akui perasaan mereka.
Cobalah kalimat seperti, “Gue paham banget kalau lo lagi ngerasa down” atau "Lo berhak merasa sedih sekarang".
Ini menunjukkan bahwa kamu mengerti. Perasaan negatif itu sah, dan mereka tidak perlu menutupi atau mengabaikannya untuk bisa merasa lebih baik.
Menghargai Proses Penyembuhan

Proses penyembuhan itu tidak instan dan penuh dengan kesabaran. Banyak orang yang merasa tertekan karena mereka dipaksa untuk segera merasa lebih baik hanya karena mereka diberi nasihat positif.
Proses penyembuhan yang sejati melibatkan penerimaan dan pengolahan perasaan negatif, yang sebenarnya adalah bagian dari proses pertumbuhan itu sendiri.
Bayangkan kamu sedang berjalan di sepanjang pantai dengan temanmu yang sedang berduka. Bukannya memberinya kalimat motivasi atau mencoba mengubah suasana hati mereka dengan "jangan sedih ya", kamu hanya berjalan bersamanya, menikmati keheningan, dan menawarkan dukungan tanpa kata-kata.
Ternyata, cara seperti ini bisa jauh lebih membantu daripada nasihat positif yang sering kali terasa kosong
“Mendengarkan adalah seni terbesar dalam berkomunikasi. Ketika kita mendengarkan dengan sepenuh hati, kita sedang memberi kekuatan pada orang lain untuk berbagi beban mereka.” – Eckhart Tolle, penulis The Power of Now
Setelah kita menggali lebih dalam tentang toxic positivity, jelas terlihat bahwa dorongan untuk selalu berpikir positif atau menerima diri apa adanya tanpa evaluasi bisa menjadi dua sisi mata uang yang membingungkan.
Nasihat seperti "terima diri apa adanya" mungkin terdengar baik di permukaan, namun tanpa adanya ruang untuk perubahan atau refleksi, perasaan stuck atau terjebak bisa muncul, bahkan memperburuk stres yang dirasakan seseorang.
Optimisme yang dipaksakan sering kali membuat seseorang merasa bahwa mereka harus selalu "baik-baik saja" tanpa mengakui atau merasakan emosi negatif mereka, yang justru bisa memperburuk kesehatan mental.
Tidak jarang, seseorang merasa cemas dan stres karena tidak dapat memenuhi standar untuk "terima diri apa adanya", terutama ketika mereka merasa belum mencapai perubahan positif yang mereka harapkan.
Sebagai gantinya, kita perlu mengedepankan realitas emosional. Mengakui bahwa terkadang perasaan negatif itu bagian dari proses penyembuhan.
Seperti yang kita bahas sebelumnya, empati jauh lebih penting daripada memberikan solusi instan atau nasihat positif yang terkesan mengabaikan emosi yang sedang dihadapi.
Jangan buru-buru menawarkan solusi atau mencoba mengubah suasana hati seseorang. Dengarkan mereka, beri ruang untuk mereka merasa, dan dukung mereka dalam proses penyembuhan.
Seperti yang dikatakan Brene Brown: “Kerapuhan bukan kelemahan; itu adalah bagian alami dari keberanian.”