Key Takeaways
- Toxic positivity di tempat kerja terjadi ketika hanya emosi positif yang diperbolehkan, sementara emosi negatif diabaikan.
- Dampaknya bisa serius, seperti stres, turunnya produktivitas, dan budaya kerja yang tidak sehat.
- Mendorong ekspresi emosi yang sehat adalah cara terbaik untuk mengatasi toxic positivity.
- Pelatihan kesadaran emosional dapat membantu karyawan mengelola emosi dengan lebih baik.

Kamu pasti pernah mendengar ungkapan seperti "Jangan mengeluh, tetap semangat!" atau "Tetap berpikir positif, semua pasti baik-baik saja." di tempat kerja. Meskipun niatnya baik, terlalu sering mendengar hal seperti ini bisa jadi tanda toxic positivity.
Toxic positivity adalah kondisi di mana seseorang dipaksa untuk selalu berpikir positif, bahkan dalam situasi yang sulit. Di lingkungan kerja, ini bisa menjadi masalah serius karena membuat karyawan merasa tidak boleh menunjukkan perasaan negatif mereka, yang pada akhirnya bisa memicu stres dan burnout.
Dalam artikel ini, kita akan membahas dampak toxic positivity di tempat kerja dan bagaimana cara mengatasinya agar lingkungan kerja menjadi lebih sehat dan produktif.
Dampak Buruk Toxic Positivity di Tempat Kerja

Meskipun berpikir positif itu baik, menolak atau mengabaikan emosi negatif justru bisa menimbulkan masalah serius bagi karyawan dan perusahaan. Berikut beberapa dampak negatif dari toxic positivity di lingkungan kerja:
1. Mengabaikan Emosi Negatif
Ketika budaya kerja menuntut karyawan untuk selalu bahagia dan semangat, mereka mungkin merasa tidak nyaman untuk mengungkapkan emosi negatif.
- Karyawan cenderung menyembunyikan stres atau kelelahan mereka.
- Perasaan negatif yang dipendam bisa semakin memburuk dan menurunkan kesejahteraan mental.
- Pada akhirnya, karyawan bisa mengalami burnout karena tidak memiliki ruang untuk mengatasi tekanan kerja.
2. Menurunkan Kinerja dan Komitmen
Jika karyawan merasa tidak boleh mengungkapkan perasaan mereka yang sebenarnya, mereka akan kehilangan motivasi untuk bekerja.
- Mereka mungkin merasa perusahaan tidak peduli dengan kesejahteraan mereka.
- Ketidakpuasan dalam bekerja meningkat, yang berdampak pada turunnya produktivitas.
- Dalam jangka panjang, ini bisa membuat karyawan tidak loyal dan mempertimbangkan untuk keluar dari perusahaan.
Agar karyawan tetap produktif tanpa terjebak dalam toxic positivity, perusahaan bisa menyediakan kelas online Belajar Etika dan Manner Sosial serta Profesional untuk membangun komunikasi yang lebih sehat di tempat kerja.
3. Budaya Kerja yang Tidak Sehat
Lingkungan kerja yang menuntut karyawan untuk selalu tersenyum dan berpikir positif bisa membuat mereka merasa terisolasi.
- Karyawan mungkin merasa tidak didukung saat menghadapi kesulitan.
- Tidak ada ruang untuk diskusi terbuka mengenai tantangan yang dihadapi tim.
- Rekan kerja bisa kehilangan empati karena hanya fokus pada hal positif tanpa memahami perasaan orang lain.
4. Meningkatkan Tingkat Turnover Karyawan
Ketika karyawan merasa tidak dihargai atau tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan diri, mereka akan lebih cepat meninggalkan perusahaan.
- Lingkungan kerja yang tidak mendukung kesejahteraan emosional bisa membuat karyawan mencari tempat yang lebih sehat.
- Perusahaan harus terus merekrut dan melatih karyawan baru, yang memakan waktu dan biaya.
Jika ingin menciptakan budaya kerja yang lebih suportif, perusahaan bisa mengadakan workshop tentang kesehatan mental di tempat kerja untuk membantu karyawan mengelola emosinya dengan lebih baik.
Dengan memahami dampak toxic positivity, langkah berikutnya adalah mencari cara agar perusahaan bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih seimbang dan mendukung kesejahteraan mental karyawan.
Cara Mengatasi Toxic Positivity di Tempat Kerja

Menghindari toxic positivity bukan berarti membiarkan lingkungan kerja dipenuhi energi negatif, tetapi menciptakan keseimbangan antara berpikir positif dan mengakui emosi yang nyata. Berikut beberapa langkah yang bisa diterapkan agar tempat kerja lebih sehat secara emosional:
1. Mendorong Ekspresi Emosi yang Sehat
Karyawan harus merasa aman untuk mengekspresikan perasaan mereka, baik positif maupun negatif.
- Buat ruang diskusi terbuka, seperti sesi check-in mingguan, di mana karyawan bisa berbicara tentang tantangan mereka.
- Dukung budaya kerja yang menghargai kejujuran tanpa takut dihakimi.
- Pemimpin tim harus menunjukkan empati dengan mendengarkan dan merespons keluhan secara konstruktif.
2. Berhenti Memaksakan Positivitas Berlebihan
Alih-alih mengatakan "Tetap semangat, semua pasti baik-baik saja!", coba ubah pendekatan dengan kalimat yang lebih suportif.
- Contoh respons yang lebih baik: "Aku paham ini situasi yang sulit. Kalau butuh bantuan, mari kita cari solusinya bersama."
- Hindari mengabaikan perasaan karyawan dengan hanya memberikan motivasi kosong.
Jika kamu ingin belajar bagaimana berkomunikasi dengan lebih baik di lingkungan kerja, kelas online Belajar Etika dan Manner Sosial serta Profesional bisa membantumu memahami cara berbicara yang lebih suportif dan profesional.
3. Menerima Semua Emosi sebagai Bagian dari Proses
Semua emosi, baik senang, sedih, kecewa, atau marah, memiliki nilai dan bisa memberikan wawasan penting dalam kehidupan kerja.
- Karyawan harus diberikan kebebasan untuk merasa dan memproses emosi mereka.
- Manajemen harus mencontohkan sikap yang terbuka terhadap semua jenis emosi, bukan hanya yang positif.
- Membiasakan diskusi tentang keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi bisa membantu karyawan mengelola stres dengan lebih baik.
4. Mengadakan Pelatihan Kesadaran Emosional
Kesadaran emosional adalah keterampilan penting yang harus dimiliki setiap karyawan, terutama pemimpin tim.
- Pelatihan kecerdasan emosional membantu karyawan memahami dan mengelola emosi dengan lebih baik.
- Perusahaan bisa mengundang psikolog atau mentor untuk memberikan workshop tentang pentingnya keseimbangan emosi.
- Meningkatkan keterampilan komunikasi agar setiap anggota tim bisa menyampaikan perasaan dan pikirannya tanpa merasa dihakimi.
Selain itu, perusahaan juga bisa mengadakan program mentoring tentang kesehatan mental di tempat kerja, sehingga karyawan mendapatkan bimbingan lebih lanjut tentang cara menghadapi tekanan tanpa harus berpura-pura bahagia.
5. Membangun Budaya Kerja yang Lebih Realistis dan Suportif
Budaya kerja yang sehat adalah budaya yang mengizinkan karyawan untuk menjadi diri sendiri tanpa tekanan untuk selalu terlihat positif.
- Pemimpin harus memberikan contoh dengan berbagi pengalaman pribadi mereka, termasuk tantangan yang mereka hadapi.
- Jangan hanya merayakan keberhasilan, tetapi juga akui perjuangan dan tantangan yang telah dilalui tim.
- Pastikan kebijakan perusahaan mendukung kesejahteraan karyawan, seperti jam kerja fleksibel dan cuti kesehatan mental.
Dengan menerapkan langkah-langkah ini, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, di mana karyawan merasa didengar, didukung, dan mampu bekerja secara lebih produktif tanpa harus menyembunyikan emosi mereka.
Kesimpulan

Toxic positivity mungkin terdengar seperti sesuatu yang tidak berbahaya, tetapi dalam jangka panjang, dampaknya bisa merusak kesejahteraan karyawan dan produktivitas perusahaan. Dengan menciptakan budaya kerja yang lebih seimbang—di mana setiap emosi dihargai dan karyawan merasa didukung—perusahaan dapat meningkatkan keterlibatan tim, mengurangi stres, dan membangun hubungan kerja yang lebih sehat.
Lingkungan kerja yang ideal bukanlah yang selalu menuntut karyawan untuk berpikir positif, tetapi yang memberikan ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri secara jujur. Dengan mengubah cara komunikasi, memberikan pelatihan kecerdasan emosional, dan membangun budaya kerja yang lebih realistis, toxic positivity bisa dicegah sebelum menjadi masalah yang lebih besar.
Jika kamu ingin meningkatkan keterampilan komunikasi dan memahami bagaimana cara membangun interaksi yang lebih profesional di tempat kerja, kelas online Belajar Etika dan Manner Sosial serta Profesional bisa membantumu memahami cara bersikap dan berbicara dengan lebih efektif. Daftar sekarang di satupersen.net/kelas-online.
FAQ
1. Apa tanda-tanda toxic positivity di tempat kerja?
Tanda-tanda toxic positivity meliputi tuntutan untuk selalu bahagia, menolak emosi negatif, serta penggunaan frasa seperti "Jangan menyerah, tetap semangat!" tanpa memberikan solusi yang nyata.
2. Bagaimana cara menghindari toxic positivity tanpa menjadi terlalu negatif?
Cobalah untuk mendengarkan keluhan atau kesulitan rekan kerja dengan empati, tanpa langsung memberikan saran untuk "berpikir positif." Sebaliknya, tawarkan dukungan dan cari solusi bersama.
3. Apakah toxic positivity bisa menyebabkan burnout?
Ya! Ketika karyawan terus-menerus menekan emosi negatif mereka, tingkat stres akan meningkat, yang pada akhirnya bisa menyebabkan burnout dan kehilangan motivasi dalam bekerja.
4. Apa manfaat mengikuti kelas etika dan manner sosial?
Kelas ini akan membantumu memahami bagaimana cara berkomunikasi dengan lebih baik di tempat kerja, menjaga profesionalisme, serta membangun hubungan kerja yang lebih sehat dan produktif.